
Lebih dari 1%, Pelemahan Rupiah Terdalam di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 June 2018 08:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada hari pertama perdagangan di pasar valas usai cuti bersama Idul Fitri, rupiah langsung tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Greenback pun kembali menembus level Rp 14.000.
Pada Kamis (21/6/2018) pukul 08:24 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.080. Rupiah melemah sampai 1,11%. Rupiah tidak mampu berbuat banyak di hadapan dolar AS yang masih melanjutkan reli.
Pada pukul 08:24 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,09%. Indeks ini belum berhenti menguat sejak 13 Juni.
Dolar AS pun cenderung menguat terhadap mata uang regional. Namun dengan depresiasi lebih dari 1%, rupiah untuk saat ini menjadi mata uang dengan pelemahan paling dalam.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS di hadapan sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:27 WIB, mengutip data Reuters:
Kali ini, bahan bakar baku dolar AS berasal dari komentar Gubernur The Fed Jerome Powell. Berbicara dalam forum ekonomi European Central Bank (ECB) di Sintra, Portugal, Powell kembali menegaskan komitmen bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
"Dengan ekonomi AS yang semakin kuat, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap tetap kuat. Meski pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih," kata Powell, dikutip dari Reuters.
Selain itu, perang dagang juga menjadi faktor yang membuat dolar AS terapresiasi. Perang dagang membuat harga barang-barang China yang masuk ke pasar AS menjadi mahal karena terkena bea masuk.
Bila yang masuk adalah bahan baku dan barang modal, maka biaya produksi tentu akan naik dan ujungnya adalah kenaikan harga produk akhir yang dibeli konsumen. Inflasi di AS pun akan semakin tinggi.
Saat inflasi AS melaju, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Pada Kamis (21/6/2018) pukul 08:24 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.080. Rupiah melemah sampai 1,11%. Rupiah tidak mampu berbuat banyak di hadapan dolar AS yang masih melanjutkan reli.
Pada pukul 08:24 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,09%. Indeks ini belum berhenti menguat sejak 13 Juni.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS di hadapan sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:27 WIB, mengutip data Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 110.41 | +0,05 |
Yuan China | 6,47 | -0,14 |
Won Korea Selatan | 1.108,69 | -0,03 |
Dolar Taiwan | 30,19 | +0,03 |
Rupee India | 68,05 | -0,37 |
Dolar Singapura | 1,36 | +0,12 |
Ringgit Malaysia | 4,01 | +0,07 |
Baht Thailand | 32,88 | +0,21 |
Peso Filipina | 53,37 | +0,18 |
Kali ini, bahan bakar baku dolar AS berasal dari komentar Gubernur The Fed Jerome Powell. Berbicara dalam forum ekonomi European Central Bank (ECB) di Sintra, Portugal, Powell kembali menegaskan komitmen bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
"Dengan ekonomi AS yang semakin kuat, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap tetap kuat. Meski pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih," kata Powell, dikutip dari Reuters.
Selain itu, perang dagang juga menjadi faktor yang membuat dolar AS terapresiasi. Perang dagang membuat harga barang-barang China yang masuk ke pasar AS menjadi mahal karena terkena bea masuk.
Bila yang masuk adalah bahan baku dan barang modal, maka biaya produksi tentu akan naik dan ujungnya adalah kenaikan harga produk akhir yang dibeli konsumen. Inflasi di AS pun akan semakin tinggi.
Saat inflasi AS melaju, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Next Page
Kode BI Belum Direspons Pasar
Pages
Most Popular