
Mengapa Saham Sawit Tertekan Meski Eropa Melunak Soal CPO?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
20 June 2018 16:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Uni Eropa menunda pelarangan penggunaan biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) tak serta merta mendorong investor memborong saham-saham sawit nasional.
Uni Eropa memutuskan untuk menunda larangan penggunaan biofuel berbasis CPO dari 2021 menjadi 2030. Keputusan tersebut dikeluarkan pada Kamis pekan lalu (14/06/2018), ketika perdagangan bursa Indonesia tidak aktif karena libur Lebaran.
Kabar tersebut semestinya menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar, karena emiten sawit Indonesia masih memiliki nafas lumayan panjang untuk mengekspor produk CPO dan turunannya ke Benua Biru tersebut.
Namun, ketika pasar saham dibuka pada hari ini, indeks sektor perkebunan justru turun 1,84% atau 28,24 poin ke 1.507,18 pada pukul 15:00. Koreksi terjadi mengikuti pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,31% ke level 5.855,21.
Dari 10 besar saham sawit di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang total bobotnya setara dengan 90% indeks sektor perkebunan, hanya satu saham yang bergerak ke jalur hijau yakni PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS).
Saham perusahaan yang dikendalikan Haji Abdul Rasyid melalui Citra Borneo Indah (CBI) ini menguat sebesar 1,96% atau 25 poin ke Rp 1.300 per saham. Sebaliknya, koreksi terparah dibukukan saham PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) yang melemah 6,31% ke Rp 965 per unit.
Bahkan, selama negosiasi berjalan, yakni pada 19 April hingga 19 Juni 2018, saham-saham emiten sawit melemah rata-rata 9,2%. Saham TBLA lagi-lagi menjadi saham dengan koreksi terbesar selama negosiasi itu berjalan, yakni sebesar 17,2%.
Sebaliknya, saham PT Sinar Mas Agro Tbk (SMAR) menjadi satu-satunya saham emiten perkebunan yang menguat, yakni sebesar 11,4%.
Pelaku pasar masih digelayuti kekhawatiran bahwa permintaan CPO dunia masih akan melemah akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta penguatan dolar AS yang mengindikasikan peralihan dana investor dari bursa komoditas (termasuk sawit) ke greenback.
Kekhawatiran fundamental jangka menengah ini terlihat lebih dominan memengaruhi sentiment pelaku bursa di Indonesia, terbaca dari turunnya harga-harga saham emiten sawit dengan besaran yang sama dengan penurunan harga acuan kontrak berjangka CPO.
Sepanjang tahun berjalan, indeks sektor perkebunan terkoreksi sebesar 17,8%, sedangkan harga acuan kontrak berjangka CPO di Bursa Komoditas Malaysia tertekan sebesar 9,6% ke 2.262 ringgit Malaysia per ton.
Sejatinya grafik sektor AGRI bergerak dengan tren melemah (downtrend) dari harga tertingginya tahun ini di level 1.767 pada Maret 2018. Penurunan ini terjadi sejalan dengan tren bearish harga CPO di pasar Bursa Malaysia.
Mengacu pada beberapa indikator teknikal, indikator rerata pergerakan konvergensi divergensi (moving average convergence divergence/ MACD) menuunjukkan pola dead cross dan menjauhi level jenuh beli (overbought).
Harga CPO juga bergerak ke bawah menjauhi garis rerata pergerakannya dalam 20, 50 dan 100 hari (MA 20, MA 50 dan MA 100) yang menandakan harga CPO masih pada kondisi bearish.
(ags/hps) Next Article 8 Emiten Ini Lakukan Stock Split, Ternyata Gak Semuanya Cuan
Uni Eropa memutuskan untuk menunda larangan penggunaan biofuel berbasis CPO dari 2021 menjadi 2030. Keputusan tersebut dikeluarkan pada Kamis pekan lalu (14/06/2018), ketika perdagangan bursa Indonesia tidak aktif karena libur Lebaran.
Kabar tersebut semestinya menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar, karena emiten sawit Indonesia masih memiliki nafas lumayan panjang untuk mengekspor produk CPO dan turunannya ke Benua Biru tersebut.
Namun, ketika pasar saham dibuka pada hari ini, indeks sektor perkebunan justru turun 1,84% atau 28,24 poin ke 1.507,18 pada pukul 15:00. Koreksi terjadi mengikuti pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,31% ke level 5.855,21.
Dari 10 besar saham sawit di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang total bobotnya setara dengan 90% indeks sektor perkebunan, hanya satu saham yang bergerak ke jalur hijau yakni PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS).
Saham perusahaan yang dikendalikan Haji Abdul Rasyid melalui Citra Borneo Indah (CBI) ini menguat sebesar 1,96% atau 25 poin ke Rp 1.300 per saham. Sebaliknya, koreksi terparah dibukukan saham PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) yang melemah 6,31% ke Rp 965 per unit.
![]() |
Bahkan, selama negosiasi berjalan, yakni pada 19 April hingga 19 Juni 2018, saham-saham emiten sawit melemah rata-rata 9,2%. Saham TBLA lagi-lagi menjadi saham dengan koreksi terbesar selama negosiasi itu berjalan, yakni sebesar 17,2%.
Sebaliknya, saham PT Sinar Mas Agro Tbk (SMAR) menjadi satu-satunya saham emiten perkebunan yang menguat, yakni sebesar 11,4%.
Pelaku pasar masih digelayuti kekhawatiran bahwa permintaan CPO dunia masih akan melemah akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, serta penguatan dolar AS yang mengindikasikan peralihan dana investor dari bursa komoditas (termasuk sawit) ke greenback.
Kekhawatiran fundamental jangka menengah ini terlihat lebih dominan memengaruhi sentiment pelaku bursa di Indonesia, terbaca dari turunnya harga-harga saham emiten sawit dengan besaran yang sama dengan penurunan harga acuan kontrak berjangka CPO.
Sepanjang tahun berjalan, indeks sektor perkebunan terkoreksi sebesar 17,8%, sedangkan harga acuan kontrak berjangka CPO di Bursa Komoditas Malaysia tertekan sebesar 9,6% ke 2.262 ringgit Malaysia per ton.
Sejatinya grafik sektor AGRI bergerak dengan tren melemah (downtrend) dari harga tertingginya tahun ini di level 1.767 pada Maret 2018. Penurunan ini terjadi sejalan dengan tren bearish harga CPO di pasar Bursa Malaysia.
Mengacu pada beberapa indikator teknikal, indikator rerata pergerakan konvergensi divergensi (moving average convergence divergence/ MACD) menuunjukkan pola dead cross dan menjauhi level jenuh beli (overbought).
Harga CPO juga bergerak ke bawah menjauhi garis rerata pergerakannya dalam 20, 50 dan 100 hari (MA 20, MA 50 dan MA 100) yang menandakan harga CPO masih pada kondisi bearish.
(ags/hps) Next Article 8 Emiten Ini Lakukan Stock Split, Ternyata Gak Semuanya Cuan
Most Popular