
Hubungan AS-China Masih Panas, Wall Street Berpotensi Turun
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 June 2018 18:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini (14/6/2018), Wall Street akan dibuka melemah. Hal ini terlihat dari kontrak futures tiga indeks saham utama AS: kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan penurunan sebesar 180 poin pada saat pembukaan, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan turun masing-masing sebesar 16 dan 54 poin.
Sejumlah risiko membayangi perdagangan Wall Street pada hari ini. Pertama, hubungan AS-China di bidang perdagangan masih panas. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar.
Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Sebagai respons balasan, China menetapkan bea masuk sebesar 25% terhadap produk-produk impor asal AS seperti kedelai, otomotif dan sejumlah barang lainnya yang nilainya mencapai US$ 34 miliar. Bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif pada 6 Juli mendatang.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda negosiasi babak baru antar dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut akan dimulai. Investor pun memilih bermain aman dengan melepas aset-aset berisiko seperti saham.
Kemudian, arah kebijakan bank sentral AS (the Federal Reserve) dan Eropa (European Central Bank/ECB) ikut menjadi pemberat langkah Wall Street.
Disaat risiko perang dagang masih mengintai, the Fed justru kini memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Jika perang dagang benar-benar terjadi, normalisasi yang kelewat agresif dianggap bisa 'mematikan' ekonomi AS.
Kemudian, pada hari Kamis kemarin (14/6/2018) ECB mengumumkan penghentian stimulus moneter (quantitative easing) pada akhir 2018. Padahal, kini prospek perekonomian Inggris selaku negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa kian suram.
British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indonesia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Pada hari ini, anggota FOMC Raphael Bostic dijadwalkan berbicara pada pertemuan Rotary Club of Savannah. Kemudian, calon anggota FOMC yang baru John Williams dijadwalkan untuk tampil di acara Reforming Culture and Behavior in the Financial Services Industry: Progress, Challenges, and the Next Generation of Leaders.
Jika ada konfirmasi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali yang keluar dari mulut mereka, investor bisa makin gencar melepas kepemilikannya atas saham-saham di Wall Street.
(ank/hps) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Sejumlah risiko membayangi perdagangan Wall Street pada hari ini. Pertama, hubungan AS-China di bidang perdagangan masih panas. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar.
Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda negosiasi babak baru antar dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut akan dimulai. Investor pun memilih bermain aman dengan melepas aset-aset berisiko seperti saham.
Kemudian, arah kebijakan bank sentral AS (the Federal Reserve) dan Eropa (European Central Bank/ECB) ikut menjadi pemberat langkah Wall Street.
Disaat risiko perang dagang masih mengintai, the Fed justru kini memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Jika perang dagang benar-benar terjadi, normalisasi yang kelewat agresif dianggap bisa 'mematikan' ekonomi AS.
Kemudian, pada hari Kamis kemarin (14/6/2018) ECB mengumumkan penghentian stimulus moneter (quantitative easing) pada akhir 2018. Padahal, kini prospek perekonomian Inggris selaku negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa kian suram.
British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indonesia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Pada hari ini, anggota FOMC Raphael Bostic dijadwalkan berbicara pada pertemuan Rotary Club of Savannah. Kemudian, calon anggota FOMC yang baru John Williams dijadwalkan untuk tampil di acara Reforming Culture and Behavior in the Financial Services Industry: Progress, Challenges, and the Next Generation of Leaders.
Jika ada konfirmasi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali yang keluar dari mulut mereka, investor bisa makin gencar melepas kepemilikannya atas saham-saham di Wall Street.
(ank/hps) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular