
Sampai Rehat Lebaran, HMSP Jadi Pendorong Utama Koreksi IHSG
Houtmand P Saragih & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 June 2018 11:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) menjadi saham dengan kontribusi paling besat terhadap koreksi IHSG sepanjang tahun ini yakni sebesar 113,8 poin. Sepanjang tahun ini, harga saham HMSP telah terkoreksi sebesar 23% dan tercatat sebagai emiten dengan nilai kapitalisasi yang terbesar.
Kinerja keuangan perusahaan yang mengecewakan menjadi alasan utama investor melepas kepemilikan saham HMSP oleh investor. Sepanjang tahun 2017, laba bersih perusahaan turun 0,71% menjadi Rp 12,67 triliun, dari yang sebelumnya Rp 12,76 triliun pada tahun 2016. Pertumbuhan penjualan yang melambat menjadi salah satu penyebab penurunan bottom line perusahaan.
Pada tahun lalu, penjualan perusahaan hanya tumbuh sebesar 3,8% (dari Rp 95,5 triliun menjadi Rp 99,1 triliun). Padahal pada tahun 2016, penjualan tumbuh hingga 7,2% (dari Rp 89,1 triliun menjadi Rp 95,5 triliun).
Catatan buruk tersebut berlanjut pada kuartal-I 2018. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, laba bersih perusahaan turun 8,2% menjadi Rp 3,03 triliun, dari yang sebelumnya Rp 3,3 triliun pada kuartal-I 2017. Lagi-lagi, pos penjualan menjadi momok bagi kinerja keuangan perusahaan. Pada kuartal-I 2018, penjualan perusahaan hanya tumbuh sebesar 2,2% YoY (dari Rp 22,6 triliun menjadi Rp 23,1 triliun). Padahal pada kuartal-I 2017, penjualan perusahaan bisa tumbuh sebesar 3,2% (dari Rp 21,9 triliun menjadi Rp 22,6 triliun).
Sepanjang tahun ini, konsumsi masyarakat Indonesia memang masih lemah, salah satunya terlihat dari data penjualan ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) setiap bulannya. Teranyar, sepanjang April BI mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,1% YoY, lebih rendah jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 4,2% YoY.
Hal ini berarti pertumbuhan penjualan ritel sepanjang 4 bulan pertama tahun ini selalu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan ritel bulan Mei 2018 tercatat sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY. Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei.
Melihat data bulan April lebih jauh, salah satu komponen yang mendapat tekanan adalah makanan, minuman & tembakau. Penjualan barang-barang ini hanya tumbuh sebesar 7,7% YoY pada April 2018, lebih rendah dari capaian April 2017 yang sebesar 8,4% YoY.
Masih dari laporan penjualan ritel, diketahui bahwa memang masyarakat Indonesia semakin 'pelit' untuk membelanjakan uangnya pada tahun ini. Pada bulan Januari, porsi pendapatan yang disalurkan menjadi konsumsi tercatat hanya sebesar 64,4%, lebih rendah jika dibandingkan posisi Desember 2015 yang sebesar 65%. Memasuki bulan Februari dan Maret, nilainya kembali turun menjadi 63,9%. Barulah pada bulan April nilainya naik menjadi 66%.
Masih pelitnya masyarakat Indonesia untuk berbelanja pada kuartal-I nampak dipicu ketakutan bahwa akan ada kenaikan tarif listrik seperti yang terjadi pada tahun 2017. Kala itu, pemerintah menghapus subsidi untuk 18,7 juta rumah tangga pengguna golongan 900VA. Tarif listrik yang pada awalnya dihargai Rp 605/kWh lantas meroket hingga Rp 1.352/kWh.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Walaupun pemerintah telah memberi kepastian bahwa tarif listrik tak akan dinaikkan sampai dengan akhir 2019, masalahnya adalah masyarakat kelas menengah-bawah belum tentu mengetahui hal ini. Akibatnya, mereka bermain defensif dengan mengurangi konsumsi sebagai langkah antisipasi jika sewaktu-waktu tarif listrik kembali dinaikkan.
Dengan kondisi rupiah yang masih tertekan, bisa jadi masyarakat Indonesia akan terus menahan konsumsinya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi HMSP dan IHSG.
Sampai dengan akhir perdagangan IHSG pada 8 Juni, saham HMSP berkontribusi sebesar 6,3% dari total kapitalisasi pasar IHSG yang senilai Rp 6.717 triliun. Artianya setiap poin kejatuhan saham HMSP akan berkontribusi signifikan bagi pergerakan IHSG.
(ank) Next Article Pabrik Tutup, Secara Teknikal Begini Arah Saham HM Sampoerna
Kinerja keuangan perusahaan yang mengecewakan menjadi alasan utama investor melepas kepemilikan saham HMSP oleh investor. Sepanjang tahun 2017, laba bersih perusahaan turun 0,71% menjadi Rp 12,67 triliun, dari yang sebelumnya Rp 12,76 triliun pada tahun 2016. Pertumbuhan penjualan yang melambat menjadi salah satu penyebab penurunan bottom line perusahaan.
Pada tahun lalu, penjualan perusahaan hanya tumbuh sebesar 3,8% (dari Rp 95,5 triliun menjadi Rp 99,1 triliun). Padahal pada tahun 2016, penjualan tumbuh hingga 7,2% (dari Rp 89,1 triliun menjadi Rp 95,5 triliun).
Sepanjang tahun ini, konsumsi masyarakat Indonesia memang masih lemah, salah satunya terlihat dari data penjualan ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) setiap bulannya. Teranyar, sepanjang April BI mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,1% YoY, lebih rendah jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 4,2% YoY.
Hal ini berarti pertumbuhan penjualan ritel sepanjang 4 bulan pertama tahun ini selalu lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan ritel bulan Mei 2018 tercatat sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY. Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei.
Melihat data bulan April lebih jauh, salah satu komponen yang mendapat tekanan adalah makanan, minuman & tembakau. Penjualan barang-barang ini hanya tumbuh sebesar 7,7% YoY pada April 2018, lebih rendah dari capaian April 2017 yang sebesar 8,4% YoY.
Masih dari laporan penjualan ritel, diketahui bahwa memang masyarakat Indonesia semakin 'pelit' untuk membelanjakan uangnya pada tahun ini. Pada bulan Januari, porsi pendapatan yang disalurkan menjadi konsumsi tercatat hanya sebesar 64,4%, lebih rendah jika dibandingkan posisi Desember 2015 yang sebesar 65%. Memasuki bulan Februari dan Maret, nilainya kembali turun menjadi 63,9%. Barulah pada bulan April nilainya naik menjadi 66%.
Masih pelitnya masyarakat Indonesia untuk berbelanja pada kuartal-I nampak dipicu ketakutan bahwa akan ada kenaikan tarif listrik seperti yang terjadi pada tahun 2017. Kala itu, pemerintah menghapus subsidi untuk 18,7 juta rumah tangga pengguna golongan 900VA. Tarif listrik yang pada awalnya dihargai Rp 605/kWh lantas meroket hingga Rp 1.352/kWh.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Walaupun pemerintah telah memberi kepastian bahwa tarif listrik tak akan dinaikkan sampai dengan akhir 2019, masalahnya adalah masyarakat kelas menengah-bawah belum tentu mengetahui hal ini. Akibatnya, mereka bermain defensif dengan mengurangi konsumsi sebagai langkah antisipasi jika sewaktu-waktu tarif listrik kembali dinaikkan.
Dengan kondisi rupiah yang masih tertekan, bisa jadi masyarakat Indonesia akan terus menahan konsumsinya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi HMSP dan IHSG.
Sampai dengan akhir perdagangan IHSG pada 8 Juni, saham HMSP berkontribusi sebesar 6,3% dari total kapitalisasi pasar IHSG yang senilai Rp 6.717 triliun. Artianya setiap poin kejatuhan saham HMSP akan berkontribusi signifikan bagi pergerakan IHSG.
(ank) Next Article Pabrik Tutup, Secara Teknikal Begini Arah Saham HM Sampoerna
Most Popular