Sejumlah Risiko Mengintai, Wall Street akan Dibuka Bervariasi

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 June 2018 17:30
Pada perdagangan hari ini (14/6/2018), Wall Street akan dibuka melemah. Hal ini terlihat dari kontrak futures tiga indeks saham utama AS.
Foto: REUTERS/Stephen Yang
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini (14/6/2018), Wall Street akan dibuka melemah. Hal ini terlihat dari kontrak futures tiga indeks saham utama AS: kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan penurunan sebesar 15 poin pada saat pembukaan, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan turun masing-masing sebesar 1 dan 14 poin.

Sejumlah risiko membayangi perdagangan Wall Street pada hari ini. Pertama, potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali oleh the Federal Reserve. Hal ini terungkap saat the Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari tadi.

Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).

Jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam.

Kedua, normalisasi kebijakan oleh bank sentral Eropa yakni European Central Bank (ECB) juga telah sukses membuat grogi pelaku pasar. Rencananya, ECB akan mengumumkan hasil pertemuannya pada sore hari ini.

Terdapat persepsi bahwa suntikan stimulus moneter (quantitative easing) yang selama ini digelontorkan di Benua Biru akan dipangkas. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang laju perekonomian.

Persepsi ini timbul menyusul pernyataan dari Michael Praet yang merupakan Kepala Ekonom ECB.

"Dewan akan mengkaji apakah perkembangan ekonomi terkini sudah memungkinkan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga. Ini adalah keputusan yang menentukan," tegas Praet, dikutip dari Reuters.

Memang, sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%, semakin mendekati target ECB yang sebesar 2%. Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga diperkirakan membaik.

Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun, proyeksi ini kemudian direvisi menjadi 2,3%. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui menjadi 2%, dari yang sebelumnya 1,9%.

Di satu sisi, pengurangan stimulus memang berarti ekonomi zona euro sudah lebih sehat. Namun, kebijakan ini justru bisa menjadi blunder dengan mematikan ekonomi negara-negara penganut mata uang Euro tersebut, mengingat situasi politik di Italia, Inggris, dan Spanyol masih penuh dengan ketidakpastian.

Ketiga, kurangnya detil-detil mengenai rencana denuklirisasi oleh Korea Utara. Hal ini telah membuat investor meragukan masa depan perdamaian dunia. Pasalnya, Korea Utara mempunyai sejarah mengingkari perjanjian serupa di masa lalu.

Keempat, besok (15/6/2018) pemerintahan AS dijadwalkan merilis daftar barang-barang impor asal China senilai US$ 50 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru. Pemerintahan China sebelumnya sudah memperingatkan bahwa kesepakatan yang sudah dicapai sebelumnya di bidang perdagangan akan batal jika Washington bersikukuh menerapkan bea masuk tersebut. Kini, risiko perang dagang akan memasuki babak baru yang semakin panas.
(ank/ank) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular