
Dolar AS Tak Mampu Dominan di Asia, Malah Tertekan di Eropa
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
14 June 2018 11:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) bergerak variatif cenderung melemah terhadap mata uang global. Kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam tidak mampu membawa greenback dominan, karena perhatian investor terpecah ke Eropa.
Pada Kamis (14/6/2018) pukul 11:30 WIB, dolar AS sulit berjaya terhadap mata uang utama dunia. Ini terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) turun 0,25% ke 93,48.
Tidak hanya terhadap mata uang utama, dolar AS pun terdepresiasi terhadap banyak mata uang Asia. Dolar AS hanya mampu menguat di hadapan ringgit Malaysia, yen Jepang, won Korea Selatan, dan rupee India.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS di hadapan sejumlah mata uang, mengutip data Reuters:
Pelemahan dolar AS memang cukup mengejutkan. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan biasanya menjadi obat kuat bagi mata uang.
Dalam pertemuan yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia, Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Kenaikan ini sudah diperkirakan karena sebelumnya probabilitas di CME Fedwatch mencapai 96,3%.
Namun, kenaikan ini tidak berhasil mengerek greenback karena kemudian investor sibuk mengantisipasi dinamika di Eropa. Esok hari waktu Indonesia, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) akan mengadakan rapat untuk menentukan arah kebijakan moneter dan suku bunga acuan.
Beberapa waktu terakhir sudah muncul spekulasi bahwa ECB akan mulai mengurangi stimulus moneter. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar Benua Biru dengan rajin memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang gerak ekonomi.
Sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%. Semakin mendekati target ECB yaitu 2%.
Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun kemudian direvisi di atas menjadi 2,3%. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui dari 1,9% ke 2%.
Dengan kondisi ini, pasar memperkirakan ECB akan melakukan tapering alias mengurangi pembelian surat-surat berharga. Kebijakan moneter Eropa yang mulai mengarah ke bias ketat membuat mata uang euro semakin seksi di mata investor.
Aliran dana pun mengarah ke Benua Biru. Pelaku pasar mulai memburu mata uang euro sebagai antisipasi jika ECB benar-benar mulai mengarahkan kebijakan moneternya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
Pada Kamis (14/6/2018) pukul 11:30 WIB, dolar AS sulit berjaya terhadap mata uang utama dunia. Ini terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) turun 0,25% ke 93,48.
Tidak hanya terhadap mata uang utama, dolar AS pun terdepresiasi terhadap banyak mata uang Asia. Dolar AS hanya mampu menguat di hadapan ringgit Malaysia, yen Jepang, won Korea Selatan, dan rupee India.
Mata Uang | Bid Terakhir | Change |
Ringgit Malaysia | 3,98 | +0,10 |
Dolar Singapura | 1,33 | -0,06 |
Peso Filipina | 53,29 | -0,03 |
Bath Thailand | 32,14 | -0,09 |
Yuan China | 6,39 | -0,01 |
Dolar Taiwan | 29,89 | -0,18 |
Rupee India | 67,59 | +0,07 |
Yen Jepang | 110,21 | +0,10 |
Won Korea Selatan | 1.081,88 | +0,30 |
Euro Uni-Eropa | 1,18 | -0,11 |
Poundsterling Inggris | 1,33 | -0,09 |
Pelemahan dolar AS memang cukup mengejutkan. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan biasanya menjadi obat kuat bagi mata uang.
Dalam pertemuan yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia, Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Kenaikan ini sudah diperkirakan karena sebelumnya probabilitas di CME Fedwatch mencapai 96,3%.
Namun, kenaikan ini tidak berhasil mengerek greenback karena kemudian investor sibuk mengantisipasi dinamika di Eropa. Esok hari waktu Indonesia, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) akan mengadakan rapat untuk menentukan arah kebijakan moneter dan suku bunga acuan.
Beberapa waktu terakhir sudah muncul spekulasi bahwa ECB akan mulai mengurangi stimulus moneter. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar Benua Biru dengan rajin memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang gerak ekonomi.
Sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%. Semakin mendekati target ECB yaitu 2%.
Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun kemudian direvisi di atas menjadi 2,3%. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui dari 1,9% ke 2%.
Dengan kondisi ini, pasar memperkirakan ECB akan melakukan tapering alias mengurangi pembelian surat-surat berharga. Kebijakan moneter Eropa yang mulai mengarah ke bias ketat membuat mata uang euro semakin seksi di mata investor.
Aliran dana pun mengarah ke Benua Biru. Pelaku pasar mulai memburu mata uang euro sebagai antisipasi jika ECB benar-benar mulai mengarahkan kebijakan moneternya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
Most Popular