
Di Kurs Acuan, Dolar AS Pun Sudah Tembus Rp 13.900
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 June 2018 10:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan bergerak melemah. Seperti di pasar spot, dolar AS pun sudah menembus level Rp 13.900.
Pada Jumat (8/6/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.902. Rupiah melemah 0,24% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:08 berada di Rp 13.907. Rupiah melemah 0,3%.
Senasib dengan rupiah, mata uang regional kini cenderung melemah. Bahkan rupee India melemah nyaris 1% di hadapan greenback.
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 10:10 WIB:
Dolar AS melanjutkan keperkasaan yang berlangsung sejak pagi tadi. Setelah babak-belur ditekan euro pada perdagangan kemarin, greenback pun mencoba bangkit. Saat ini, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) perlahan menguat 0,06% ke 93,45.
Rupiah memang rentan tertekan hari ini. Pasalnya, hari ini adalah perdagangan terakhir sebelum cuti bersama Idul Fitri. Pasar keuangan akan tutup sekitar 10 hari.
Investor tentu tidak ingin dananya menganggur terlalu lama. Akibatnya, kemungkinan aksi jual terhadap aset-aset berbasis rupiah akan terjadi demi mengamankan posisi. Tanpa dukungan aliran modal, tentu saja rupiah menjadi rapuh.
Selain itu, situasi global juga kurang kondusif. AS dan negara-negara sekutunya kini malah terlibat friksi dagang. Pertemuan G-7 di Quebec (Kanada) sepertinya akan diwarnai perang urat-syaraf yang lumayan sengit.
Semua bermula dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium asal Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Negara-negara tersebut meradang dan menuding AS menerapkan kebijakan proteksionis yang bisa memicu perang dagang dalam skala global.
Selain perang dagang, hawa pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju juga semakin terasa. The Federal Reserve/The Fed akan menggelar rapat pada 12-13 Juni, yang diperkirakan menghasilkan kenaikan suku bunga acuan ke 1,75-2%. Sementara Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) juga mulai pasang kuda-kuda untuk mengurangi dosis stimulus moneter.
Perkembangan ini membuat investor cenderung enggan bermain dengan instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya pelaku pasar menarik diri dari Asia, dan mata uang Benua Kuning pun terseret ke teritori negatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Jumat (8/6/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.902. Rupiah melemah 0,24% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:08 berada di Rp 13.907. Rupiah melemah 0,3%.
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 10:10 WIB:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,79 | -0,09 |
Yuan China | 6,40 | -0,21 |
Won Korsel | 1.073,90 | -0,21 |
Dolar Taiwan | 29,78 | -0,03 |
Rupee India | 67,41 | -0,87 |
Dolar Singapura | 1,33 | -0,03 |
Peso Filipina | 52,63 | -0,26 |
Baht Thailand | 32,04 | -0,06 |
Dolar AS melanjutkan keperkasaan yang berlangsung sejak pagi tadi. Setelah babak-belur ditekan euro pada perdagangan kemarin, greenback pun mencoba bangkit. Saat ini, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) perlahan menguat 0,06% ke 93,45.
Rupiah memang rentan tertekan hari ini. Pasalnya, hari ini adalah perdagangan terakhir sebelum cuti bersama Idul Fitri. Pasar keuangan akan tutup sekitar 10 hari.
Investor tentu tidak ingin dananya menganggur terlalu lama. Akibatnya, kemungkinan aksi jual terhadap aset-aset berbasis rupiah akan terjadi demi mengamankan posisi. Tanpa dukungan aliran modal, tentu saja rupiah menjadi rapuh.
Selain itu, situasi global juga kurang kondusif. AS dan negara-negara sekutunya kini malah terlibat friksi dagang. Pertemuan G-7 di Quebec (Kanada) sepertinya akan diwarnai perang urat-syaraf yang lumayan sengit.
Semua bermula dari kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium asal Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa. Negara-negara tersebut meradang dan menuding AS menerapkan kebijakan proteksionis yang bisa memicu perang dagang dalam skala global.
Selain perang dagang, hawa pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju juga semakin terasa. The Federal Reserve/The Fed akan menggelar rapat pada 12-13 Juni, yang diperkirakan menghasilkan kenaikan suku bunga acuan ke 1,75-2%. Sementara Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) juga mulai pasang kuda-kuda untuk mengurangi dosis stimulus moneter.
Perkembangan ini membuat investor cenderung enggan bermain dengan instrumen berisiko di negara berkembang. Akibatnya pelaku pasar menarik diri dari Asia, dan mata uang Benua Kuning pun terseret ke teritori negatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular