
Hubungan AS-China Kondusif, Wall Street Siap Naik Lagi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 June 2018 18:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini (7/6/2018), Wall Street akan dibuka menguat, melanjutkan tren positif kala kemarin (6/6/2018) juga menguat. Hal ini terlihat dari kontrak futures tiga indeks saham utama AS: kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan kenaikan 34 poin pada saat pembukaan, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan naik tipis masing-masing sebesar 1 poin.
Mesranya hubungan antara AS dengan China dalam hal perdagangan kembali menjadi motor utama bagi bursa saham Negeri Paman Sam. Presiden Trump dikabarkan telah bertemu dengan penasihat perdagangan Gedung Putih untuk membahas penawaran China yang ingin lebih banyak mengimpor produk Negeri Paman Sam.
Sebelumnya, pejabat pemerintahan China telah menawarkan tambahan pembelian barang-barang asal AS senilai hampir US$ 70 miliar pada tahun depan jika AS membatalkan bea masuk bagi produk-produk ekspor asal Negeri Panda. Tawaran ini diungkapkan kala Menteri perdagangan AS Wilbur Ross mengunjungi China pada akhir pekan kemarin. Barang-barang yang akan dibeli oleh China berupa kedelai, jagung, gas alam, minyak mentah, batu bara, dan beberapa produk lainnya.
Masih dari soal perdagangan, investor juga menyambut baik pernyataan dari Lawrence 'Larry' Kudlow selaku Penasihat Ekonomi Gedung Putih. Kudlow mengatakan Trump akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di sela-sela pertemuan G7 di Quebec pada 8-9 Juni mendatang.
Sebelumnya, pelaku pasar sempat dibuat grogi lantaran ada persepsi hubungan antara AS dengan negara-negara G7 lainnya akan memburuk kala pertemuan berlangsung.
Sejumlah Risiko
Namun, bukan berarti perdagangan hari ini akan berlangsung tanpa risiko. Pertama, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve kembali mencuat. Hingga berita ini diturunkan, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun naik ke level 2,9938% dibandingkan posisi kemarin (6/6/2018) yang sebesar 2,975%.
Pemicunya adalah positifnya data-data ekonomi. Teranyar, pengajuan aplikasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk minggu yang berakhir pada 1 Juni tercatat tumbuh sebesar 4,1% secara mingguan, jauh membaik dibandingkan periode sebelumnya yang mencatatkan penurunan sebesar 2,9%.
Kemudian, normalisasi stimulus moneter di Eropa juga menjadi perhatian pelaku pasar. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) kini mulai berpikir untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus.
"Sinyal inflasi menuju sasaran kami sudah semakin terlihat. Dengan ekonomi Eropa yang semakin kuat dan upah yang meningkat, maka kami semakin yakin bahwa inflasi memang masih di bawah 2% tetapi sudah sangat mendekati itu dalam jangka menengah," jelas Praet, dikutip dari Reuters.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Dengan perkembangan ini, pengetatan moneter di Eropa sepertinya sudah di depan mata. Pelaku pasar akan mempersiapkan diri jelang pertemuan ECB pada 14 Juni untuk melihat arah kebijakan moneter ECB.
Masih dari Benua Biru, situasi di Inggris juga penuh ketidakpastian pasca David Davis selaku Menteri Brexit santer dikabarkan akan mengundurkan diri hari ini, seiring dengan ketidaksepahaman antara dirinya dengan Perdana Menteri Theresa May terkait dengan nasib dari perbatasan Irlandia.
(hps) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Mesranya hubungan antara AS dengan China dalam hal perdagangan kembali menjadi motor utama bagi bursa saham Negeri Paman Sam. Presiden Trump dikabarkan telah bertemu dengan penasihat perdagangan Gedung Putih untuk membahas penawaran China yang ingin lebih banyak mengimpor produk Negeri Paman Sam.
Sebelumnya, pejabat pemerintahan China telah menawarkan tambahan pembelian barang-barang asal AS senilai hampir US$ 70 miliar pada tahun depan jika AS membatalkan bea masuk bagi produk-produk ekspor asal Negeri Panda. Tawaran ini diungkapkan kala Menteri perdagangan AS Wilbur Ross mengunjungi China pada akhir pekan kemarin. Barang-barang yang akan dibeli oleh China berupa kedelai, jagung, gas alam, minyak mentah, batu bara, dan beberapa produk lainnya.
Sebelumnya, pelaku pasar sempat dibuat grogi lantaran ada persepsi hubungan antara AS dengan negara-negara G7 lainnya akan memburuk kala pertemuan berlangsung.
Sejumlah Risiko
Namun, bukan berarti perdagangan hari ini akan berlangsung tanpa risiko. Pertama, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif oleh the Federal Reserve kembali mencuat. Hingga berita ini diturunkan, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun naik ke level 2,9938% dibandingkan posisi kemarin (6/6/2018) yang sebesar 2,975%.
Pemicunya adalah positifnya data-data ekonomi. Teranyar, pengajuan aplikasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk minggu yang berakhir pada 1 Juni tercatat tumbuh sebesar 4,1% secara mingguan, jauh membaik dibandingkan periode sebelumnya yang mencatatkan penurunan sebesar 2,9%.
Kemudian, normalisasi stimulus moneter di Eropa juga menjadi perhatian pelaku pasar. Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) kini mulai berpikir untuk mengurangi kadar stimulus moneternya. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan perkembangan inflasi di Benua Biru mungkin sudah memungkinkan bagi ECB untuk mulai mengurangi dosis stimulus.
"Sinyal inflasi menuju sasaran kami sudah semakin terlihat. Dengan ekonomi Eropa yang semakin kuat dan upah yang meningkat, maka kami semakin yakin bahwa inflasi memang masih di bawah 2% tetapi sudah sangat mendekati itu dalam jangka menengah," jelas Praet, dikutip dari Reuters.
Inflasi di zona euro melompat ke 1,9% pada Mei dibandingkan 1,2% bulan sebelumnya. Kemudian, angka pengangguran juga turun dari 8,6% menjadi 8,5%, yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun.
Dengan perkembangan ini, pengetatan moneter di Eropa sepertinya sudah di depan mata. Pelaku pasar akan mempersiapkan diri jelang pertemuan ECB pada 14 Juni untuk melihat arah kebijakan moneter ECB.
Masih dari Benua Biru, situasi di Inggris juga penuh ketidakpastian pasca David Davis selaku Menteri Brexit santer dikabarkan akan mengundurkan diri hari ini, seiring dengan ketidaksepahaman antara dirinya dengan Perdana Menteri Theresa May terkait dengan nasib dari perbatasan Irlandia.
(hps) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular