
Gubernur BI Sebut Ada 'Mission Impossible' di 2030
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
06 June 2018 19:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan pada 2030 mendatang Indonesia masih akan sulit untuk keluar dari jebakan pendapat menengah (middle income trap), dan berpindah ke negara higher income.
"Saya bukan bermaksud pesimistis, tapi terus terang ini mungkin mission impossible," tutur Perry kepada media saat dijumpai di Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Lebih lanjut, pria lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan, apabila diasumsikan dengan proyeksi-proyeksi BI, ia mempertanyakan, apakah total factor productivity (TFP) Indonesia yang saat ini di angka 0,96% bisa naik di atas 1%? Lalu masalah kontribusi dari kapital, apakah bisa naik dari 3,47%?
"Belum," imbuhnya.
"Selama ini kami sering bicara kalau sudah bisa 4% itu bagus, tapi sekarang bahkan masih di level 3%, human capital, rasio investasi riil, juga masih rendah," ujar Perry.
Sehingga, lanjut Perry, perlu dilakukan kerja ekstra keras untuk bisa bertumbuh sesuai target 2030. Sebagai informasi, sampai pada 2017, pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$ 3.876.
"Perhitungan kami kalau kita hanya kerja seperti business as usual, 2045 income per kapita baru akan mencapai US$ 10.400, apalagi di 2030? Kalau kita bisa kerja lebih keras lagi, pertumbuhan rata-rata bisa di 5,6% itu kita akan jadi negara penduduk high income pada 2045."
"Sekali lagi, saya tidak bermaksud pesimistis, tapi melihat historis selama 10 tahun, ya sepertinya memang kita perlu kerja ekstra keras untuk masuk high income di 2040," tambah Perry.
Lalu bagaimana peluang dan tantangannya? Perry menjelaskan, peluang Indonesia ada di bonus demografi dan finansial digital. Kedua ini harus dieksplorasi dengan segala positif dan negatifnya.
Perry mengatakan, anak muda dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, karena lebih berpendidikan, dan akan meningkatkan labor cost yang tinggi. Penggunaan teknologi digital di Indonesia pun sangat cepat, kalangan muda dengan jaringan sangat luas memiliki potensi untuk terus berotasi. Hal ini akan berdampak pada ekonomi yang dapat bertumbuh sekitar 1% selama 2020-2050.
"Bonus demografi dapat menjadi senjata untuk membuat mission impossible, menjadi possible," imbuh pria kelahiran Sukoharjo ini.
Senada dengan Perry, pengamat ekonomi Chatib Basri menyerukan hal yang sama.
"Jawabannya memang tidak boleh business as usual. Saya setuju. Kita harus bisa attract foreign investment di sektor yang export oriented. Semua issue harus dilakukan degan kecepatan tinggi," pungkas Mantan Menteri Keuangan ini.
(dru) Next Article Hidup Tenang Gubernur BI Tanpa Utang & Harta Miliaran
"Saya bukan bermaksud pesimistis, tapi terus terang ini mungkin mission impossible," tutur Perry kepada media saat dijumpai di Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Lebih lanjut, pria lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan, apabila diasumsikan dengan proyeksi-proyeksi BI, ia mempertanyakan, apakah total factor productivity (TFP) Indonesia yang saat ini di angka 0,96% bisa naik di atas 1%? Lalu masalah kontribusi dari kapital, apakah bisa naik dari 3,47%?
"Selama ini kami sering bicara kalau sudah bisa 4% itu bagus, tapi sekarang bahkan masih di level 3%, human capital, rasio investasi riil, juga masih rendah," ujar Perry.
Sehingga, lanjut Perry, perlu dilakukan kerja ekstra keras untuk bisa bertumbuh sesuai target 2030. Sebagai informasi, sampai pada 2017, pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$ 3.876.
"Perhitungan kami kalau kita hanya kerja seperti business as usual, 2045 income per kapita baru akan mencapai US$ 10.400, apalagi di 2030? Kalau kita bisa kerja lebih keras lagi, pertumbuhan rata-rata bisa di 5,6% itu kita akan jadi negara penduduk high income pada 2045."
"Sekali lagi, saya tidak bermaksud pesimistis, tapi melihat historis selama 10 tahun, ya sepertinya memang kita perlu kerja ekstra keras untuk masuk high income di 2040," tambah Perry.
Lalu bagaimana peluang dan tantangannya? Perry menjelaskan, peluang Indonesia ada di bonus demografi dan finansial digital. Kedua ini harus dieksplorasi dengan segala positif dan negatifnya.
Perry mengatakan, anak muda dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, karena lebih berpendidikan, dan akan meningkatkan labor cost yang tinggi. Penggunaan teknologi digital di Indonesia pun sangat cepat, kalangan muda dengan jaringan sangat luas memiliki potensi untuk terus berotasi. Hal ini akan berdampak pada ekonomi yang dapat bertumbuh sekitar 1% selama 2020-2050.
"Bonus demografi dapat menjadi senjata untuk membuat mission impossible, menjadi possible," imbuh pria kelahiran Sukoharjo ini.
Senada dengan Perry, pengamat ekonomi Chatib Basri menyerukan hal yang sama.
"Jawabannya memang tidak boleh business as usual. Saya setuju. Kita harus bisa attract foreign investment di sektor yang export oriented. Semua issue harus dilakukan degan kecepatan tinggi," pungkas Mantan Menteri Keuangan ini.
(dru) Next Article Hidup Tenang Gubernur BI Tanpa Utang & Harta Miliaran
Most Popular