
Dibayangi Risiko Perang Dagang, Tapi Wall Street Siap Naik
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 June 2018 17:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan hari ini (5/6/2018), Wall Street akan dibuka menguat, melanjutkan penguatan perdagangan kemarin (4/6/2018). Hal tersebut tampak dari kontrak futures tiga indeks saham utama AS: kontrak futures Dow Jones mengimplikasikan kenaikan 35 poin pada saat pembukaan, sementara S&P 500 dan Nasdaq diimplikasikan naik masing-masing sebesar 4 dan 27 poin.
Data tenaga kerja yang kuat masih menjadi motor utama bursa saham. Pada hari Jumat waktu setempat, penciptaan lapangan kerja diluar sektor pertanian untuk periode Mei tercatat sebesar 223.000, jauh mengungguli konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 188.000.
Seiring dengan pesatnya penciptaan lapangan kerja, tingkat pengangguran turun ke level 3,8%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 3,9%. Tingkat pengangguran tersebut merupakan yang terendah dalam 18 tahun terakhir
Hal ini lantas membuktikan bahwa ekonomi AS terus berada dalam jalur pemulihan, walaupun di sisi lain hal ini sempat memantik persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve secara lebih agresif.
Namun, risiko perang dagang berpotensi menghambat laju Wall Street. Hubungan dagang antara AS dengan berbagai mitra dagangnya berada pada titik yang kelam. Dengan China, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross meninggalkan Negeri Panda dengan tangan kosong.
Sebelumnya, kunjungan yang dilakukan Ross pada minggu lalu diharapkan membuahkan hasil yakni komitmen untuk menipiskan surplus dagang China dengan AS.
Sikap AS yang bersikeras menerapkan bea masuk sebesar 25% untuk produk impor China senilai US$ 50 miliar menjadi pemicunya. Daftar final dari barang-barang yang akan dikenakan bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni mendatang.
Pada hari Senin (5/6/2018), Menteri Luar Negeri China mengungkapkan bahwa pihaknya terbuka untuk bernegosiasi dengan AS namun menambahkan bahwa kesepakatan di bidang perdagangan dan bisnis akan hangus jika Gedung Putih jadi menerapkan bea masuk bagi produk-produk asal China.
Dengan negara-negara lainnya, situasinya bisa bertambah buruk pada akhir Minggu ini, kala Presiden AS Donald Trump bertemu dengan pimpinan negara anggota-anggota G7.
Sebelumnya, keputusan Trump untuk tetap memberlakukan bea masuk baja dan aluminium terhadap Kanada, Meksiko, dan negara-negara anggota Uni Eropa telah memantik reaksi yang keras dari mereka.
Negara-negara tersebut sejatinya sempat dikecualikan dari pengenaan bea masuk selama beberapa bulan lamanya guna membuka ruang negosiasi. Namun, pengecualian tersebut telah berakhir pada hari Jumat (1/6/2018) dan pemerintahan AS memutuskan untuk tak memperpanjangnya.
Aksi balasan langsung mereka siapkan. Melansir CNBC International, Meksiko yang merupakan mitra dagang terbesar ketiga AS akan mematok bea masuk terhadap beberapa jenis produk eskpor AS ke negara tersebut, seperti daging babi, apel, anggur, dan keju.
Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker menyatakan siap melancarkan serangan balik dengan menetapkan bea masuk atas selai kacang, bourbon, hingga motor asal AS seperti Harley-Davidson.
Sementara itu, Kanada berencana mengenakan bea masuk terhadap produk Wiski, jus jeruk dan produk makanan lainnya bersama dengan baja dan aluminium asal AS. Tarif yang dikenakan berkisar 10-25%.
Kepala Ekonom S&P Global Paul Gruenwald kemarin mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi global bisa berkurang sekitar 1% jika perang dagang benar-benar terjadi.
(ank/ank) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Data tenaga kerja yang kuat masih menjadi motor utama bursa saham. Pada hari Jumat waktu setempat, penciptaan lapangan kerja diluar sektor pertanian untuk periode Mei tercatat sebesar 223.000, jauh mengungguli konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 188.000.
Seiring dengan pesatnya penciptaan lapangan kerja, tingkat pengangguran turun ke level 3,8%, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 3,9%. Tingkat pengangguran tersebut merupakan yang terendah dalam 18 tahun terakhir
Namun, risiko perang dagang berpotensi menghambat laju Wall Street. Hubungan dagang antara AS dengan berbagai mitra dagangnya berada pada titik yang kelam. Dengan China, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross meninggalkan Negeri Panda dengan tangan kosong.
Sebelumnya, kunjungan yang dilakukan Ross pada minggu lalu diharapkan membuahkan hasil yakni komitmen untuk menipiskan surplus dagang China dengan AS.
Sikap AS yang bersikeras menerapkan bea masuk sebesar 25% untuk produk impor China senilai US$ 50 miliar menjadi pemicunya. Daftar final dari barang-barang yang akan dikenakan bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni mendatang.
Pada hari Senin (5/6/2018), Menteri Luar Negeri China mengungkapkan bahwa pihaknya terbuka untuk bernegosiasi dengan AS namun menambahkan bahwa kesepakatan di bidang perdagangan dan bisnis akan hangus jika Gedung Putih jadi menerapkan bea masuk bagi produk-produk asal China.
Dengan negara-negara lainnya, situasinya bisa bertambah buruk pada akhir Minggu ini, kala Presiden AS Donald Trump bertemu dengan pimpinan negara anggota-anggota G7.
Sebelumnya, keputusan Trump untuk tetap memberlakukan bea masuk baja dan aluminium terhadap Kanada, Meksiko, dan negara-negara anggota Uni Eropa telah memantik reaksi yang keras dari mereka.
Negara-negara tersebut sejatinya sempat dikecualikan dari pengenaan bea masuk selama beberapa bulan lamanya guna membuka ruang negosiasi. Namun, pengecualian tersebut telah berakhir pada hari Jumat (1/6/2018) dan pemerintahan AS memutuskan untuk tak memperpanjangnya.
Aksi balasan langsung mereka siapkan. Melansir CNBC International, Meksiko yang merupakan mitra dagang terbesar ketiga AS akan mematok bea masuk terhadap beberapa jenis produk eskpor AS ke negara tersebut, seperti daging babi, apel, anggur, dan keju.
Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker menyatakan siap melancarkan serangan balik dengan menetapkan bea masuk atas selai kacang, bourbon, hingga motor asal AS seperti Harley-Davidson.
Sementara itu, Kanada berencana mengenakan bea masuk terhadap produk Wiski, jus jeruk dan produk makanan lainnya bersama dengan baja dan aluminium asal AS. Tarif yang dikenakan berkisar 10-25%.
Kepala Ekonom S&P Global Paul Gruenwald kemarin mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi global bisa berkurang sekitar 1% jika perang dagang benar-benar terjadi.
(ank/ank) Next Article Wall Street Melejit, Sinyal Pasar Saham Kebal Resesi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular