
Menguat di Kurs Acuan, Dolar AS Sentuh Rp 13.887
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 June 2018 10:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan bergerak melemah. Di pasar spot pun rupiah kurang bertaji di hadapan greenback.
Pada Selasa (5/6/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.887. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:08 WIB dibanderol Rp 13.882. Rupiah melemah dalam besaran yang sama yaitu 0,11%.
Pada pembukaan pasar spot, sebenarnya rupiah masih bisa menguat 0,05%. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak melemah. Posisi terlemah rupiah sempat menyentuh Rp 13.895/US$.
Sedangkan mata uang utama Asia bergerak variatif. Namun dengan depresiasi 0,11%, rupiah masih menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di regional.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 10:13 WIB:
Rupiah terbawa arus penguatan dolar AS. Dollar Index, yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, menguat meski tipis di 0,05%.
Apresiasi dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9387%. Naik tipis dibandingkan kemarin yang sebesar 2,937%.
Kenaikan yield merupakan salah satu pertanda ekspektasi inflasi. Ada kekhawatiran inflasi di Negeri Paman Sam naik karena perang dagang.
Akibat aksi saling balas menaikkan bea masuk antara AS dan negara-negara lain, harga barang impor menjadi lebih mahal. Alih-alih melindungi produksi dalam negeri, pengusaha justru tertekan karena kenaikan harga bahan baku seperti baja. Mereka pun terpaksa mentransmisikan kenaikan biaya produksi menjadi kenaikan harga di tingkat konsumen.
Hal ini sudah tercermin dalam rilis data pemesanan produk manufaktur yang pada April turun 0,8% secara month-to-month (MtM). Jauh memburuk dibandingkan Maret yang naik 1,7%. Data April juga lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan penurunan 0,5%.
Penyebab penurunan ini adalah pemesanan untuk alat-alat transportasi dan mesin. Pemesanan alat transportasi turun 6% sementara untuk mesin turun 0,7%.
Pelaku industri mengeluhkan kebijakan Presiden Trump yang mengenakan bea masuk untuk baja yang membuat harga bahan baku semakin mahal. Kebijakan ini seolah menutup pemotongan tarif pajak penghasilan badan dari 35% menjadi 21%.
Percepatan laju inflasi (lagi-lagi) memunculkan persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bukan tidak mungkin The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali sepanjang tahun ini, lebih dari yang diperkirakan yaitu tiga kali.
Kenaikan suku bunga acuan merupakan kabar gembira bagi dolar AS, karena dapat menjangkar inflasi sehingga mata uang akan menguat. Sentimen ini membawa dolar AS perkasa dan rupiah pun terseret ke teritori negatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Selasa (5/6/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.887. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:08 WIB dibanderol Rp 13.882. Rupiah melemah dalam besaran yang sama yaitu 0,11%.
Sedangkan mata uang utama Asia bergerak variatif. Namun dengan depresiasi 0,11%, rupiah masih menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di regional.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 10:13 WIB:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,83 | -0,03 |
Yuan China | 6,40 | -0,02 |
Won Korsel | 1.067,97 | +0,13 |
Dolar Taiwan | 29,75 | -0,05 |
Rupee India | 67,06 | -0,10 |
Dolar Singapura | 1,33 | +0,11 |
Peso Filipina | 52,49 | +0,09 |
Baht Thailand | 31,95 | +0,13 |
Rupiah terbawa arus penguatan dolar AS. Dollar Index, yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, menguat meski tipis di 0,05%.
Apresiasi dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9387%. Naik tipis dibandingkan kemarin yang sebesar 2,937%.
Kenaikan yield merupakan salah satu pertanda ekspektasi inflasi. Ada kekhawatiran inflasi di Negeri Paman Sam naik karena perang dagang.
Akibat aksi saling balas menaikkan bea masuk antara AS dan negara-negara lain, harga barang impor menjadi lebih mahal. Alih-alih melindungi produksi dalam negeri, pengusaha justru tertekan karena kenaikan harga bahan baku seperti baja. Mereka pun terpaksa mentransmisikan kenaikan biaya produksi menjadi kenaikan harga di tingkat konsumen.
Hal ini sudah tercermin dalam rilis data pemesanan produk manufaktur yang pada April turun 0,8% secara month-to-month (MtM). Jauh memburuk dibandingkan Maret yang naik 1,7%. Data April juga lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan penurunan 0,5%.
Penyebab penurunan ini adalah pemesanan untuk alat-alat transportasi dan mesin. Pemesanan alat transportasi turun 6% sementara untuk mesin turun 0,7%.
Pelaku industri mengeluhkan kebijakan Presiden Trump yang mengenakan bea masuk untuk baja yang membuat harga bahan baku semakin mahal. Kebijakan ini seolah menutup pemotongan tarif pajak penghasilan badan dari 35% menjadi 21%.
Percepatan laju inflasi (lagi-lagi) memunculkan persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Bukan tidak mungkin The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali sepanjang tahun ini, lebih dari yang diperkirakan yaitu tiga kali.
Kenaikan suku bunga acuan merupakan kabar gembira bagi dolar AS, karena dapat menjangkar inflasi sehingga mata uang akan menguat. Sentimen ini membawa dolar AS perkasa dan rupiah pun terseret ke teritori negatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular