
Kena Ambil Untung, Rupiah Berbalik Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2018 12:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sejak pagi menguat, nilai tukar rupiah berbalik melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Aksi ambil untung membuat rupiah tertekan.
Pada Senin (4/6/2018), US$ 1 di pasar spot pada pukul 12:07 WIB dihargai Rp 13.896. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Rupiah dibuka menguat 0,29% pada perdagangan hari ini. Namun seiring perjalanan, apresiasi rupiah semakin berkurang dan akhirnya malah terpeleset ke teritori negatif.
Sementara sejumlah mata uang utama Asia bergerak variatif. Namun dengan koreksi 0,04% performa rupiah bukanlah yang terburuk di kawasan. Depresiasi peso Filipina menjadi yang terdalam.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 09:28 WIB:
Rupiah menjadi terseret arus pelemahan akibat perkembangan ekonomi global yang kurang kondusif. Investor tengah mencemaskan dinamika perang dagang, yang kini skalanya semakin luas.
AS menjadi biang keladi karena akhirnya menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Padahal negara-negara tersebut merupakan sekutu utama Negeri Adidaya.
Tidak tinggal diam, para 'korban' itu membalas. Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga.
Uni Eropa memang belum menempuh langkah seperti Kanada atau Meksiko. Namun Benua Biru juga sudah mengambil ancang-ancang, bahkan mencari kawan.
"Kami akan mencoba menyelesaikan ini dengan negosiasi. Kami akan menyatukan langkah dan menyusun respons atas nama Uni Eropa. Mungkin kami akan bekerja sama lebih dekat dengan Kanada dan Meksiko," tegas Peter Altmaier, Menteri Ekonomi Jerman, seperti dikutip dari Reuters.
Aura perang dagang dalam skala global pun kian terasa. Perang dagang bukan lagi melibatkan AS dan China, tetapi merambat sampai ke Eropa. Ini tentu bukan kabar baik bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi periode Mei 2018. Laju inflasi Mei secara bulanan (month-to-month/MtM) adalah 0,21%. Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 3,23% dan inflasi inti secara tahunan di 2,75%.
Rilis ini masih sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi Mei secara MtM sebesar 0,25%. Sementara inflasi YoY diproyeksikan 3,3% dan inflasi inti YoY diramal 2,76%. Bahkan realisasinya sedikit lebih baik.
Pelaku pasar memang sudah terlebih dulu mengantisipasi bahwa inflasi akan terkendali pada Mei. Ini menjadi salah satu yang membuat rupiah menguat dalam beberapa waktu terakhir. Sepanjang pekan lalu, rupiah sudah menguat 0,68% terhadap greenback.
Artinya, laju inflasi Mei sudah priced in di mata investor. Akibatnya, begitu data dirilis maka yang terjadi adalah aksi ambil untung. Pameo buy the rumor and sell the news benar-benar berlaku di sini.
Investor pun kemudian memilih melakukan ambil untung (profit taking) yang sudah diakumulasikan dalam beberapa waktu terakhir. Rilis data inflasi belum mampu menjadi sentimen positif bagi rupiah, yang ada justru membebani.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Senin (4/6/2018), US$ 1 di pasar spot pada pukul 12:07 WIB dihargai Rp 13.896. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Rupiah dibuka menguat 0,29% pada perdagangan hari ini. Namun seiring perjalanan, apresiasi rupiah semakin berkurang dan akhirnya malah terpeleset ke teritori negatif.
![]() |
Sementara sejumlah mata uang utama Asia bergerak variatif. Namun dengan koreksi 0,04% performa rupiah bukanlah yang terburuk di kawasan. Depresiasi peso Filipina menjadi yang terdalam.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 09:28 WIB:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109.61 | -0,07 |
Yuan China | 6,42 | -0,02 |
Won Korsel | 1.070,70 | 0,00 |
Dolar Taiwan | 29,78 | +0,06 |
Rupee India | 67,03 | -0,07 |
Dolar Singapura | 1,34 | +0,08 |
Peso Filipina | 52,58 | -0,18 |
Baht Thailand | 32,02 | +0,06 |
Rupiah menjadi terseret arus pelemahan akibat perkembangan ekonomi global yang kurang kondusif. Investor tengah mencemaskan dinamika perang dagang, yang kini skalanya semakin luas.
AS menjadi biang keladi karena akhirnya menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Padahal negara-negara tersebut merupakan sekutu utama Negeri Adidaya.
Tidak tinggal diam, para 'korban' itu membalas. Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga.
Uni Eropa memang belum menempuh langkah seperti Kanada atau Meksiko. Namun Benua Biru juga sudah mengambil ancang-ancang, bahkan mencari kawan.
"Kami akan mencoba menyelesaikan ini dengan negosiasi. Kami akan menyatukan langkah dan menyusun respons atas nama Uni Eropa. Mungkin kami akan bekerja sama lebih dekat dengan Kanada dan Meksiko," tegas Peter Altmaier, Menteri Ekonomi Jerman, seperti dikutip dari Reuters.
Aura perang dagang dalam skala global pun kian terasa. Perang dagang bukan lagi melibatkan AS dan China, tetapi merambat sampai ke Eropa. Ini tentu bukan kabar baik bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi periode Mei 2018. Laju inflasi Mei secara bulanan (month-to-month/MtM) adalah 0,21%. Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 3,23% dan inflasi inti secara tahunan di 2,75%.
Rilis ini masih sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi Mei secara MtM sebesar 0,25%. Sementara inflasi YoY diproyeksikan 3,3% dan inflasi inti YoY diramal 2,76%. Bahkan realisasinya sedikit lebih baik.
Pelaku pasar memang sudah terlebih dulu mengantisipasi bahwa inflasi akan terkendali pada Mei. Ini menjadi salah satu yang membuat rupiah menguat dalam beberapa waktu terakhir. Sepanjang pekan lalu, rupiah sudah menguat 0,68% terhadap greenback.
Artinya, laju inflasi Mei sudah priced in di mata investor. Akibatnya, begitu data dirilis maka yang terjadi adalah aksi ambil untung. Pameo buy the rumor and sell the news benar-benar berlaku di sini.
Investor pun kemudian memilih melakukan ambil untung (profit taking) yang sudah diakumulasikan dalam beberapa waktu terakhir. Rilis data inflasi belum mampu menjadi sentimen positif bagi rupiah, yang ada justru membebani.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular