Pelajaran dari Krisis 1998
Pelajaran Krismon: Stabilitas Rupiah Harus Jadi Panglima
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
22 May 2018 20:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah berkuasa nyaris 32 tahun, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kepempinan Republik Indonesia (RI) pada 21 Mei 1998. Lengsernya Soeharto menandai berakhirnya rezim Orde Baru, sekaligus menjadi hari lahirnya era reformasi di Tanah Air.
Tumbangnya Orde Baru juga menjadi puncak krisis politik saat itu, yang memanas karena bara krisis moneter dan ekonomi berkepanjangan sejak setahun sebelumnya, atau akrab di telinga kita dengan nama 'krismon'.
Sebagai catatan, peluit penanda dimulainya babak krismon di Indonesia adalah pelemahan nilai tukar rupiah, dipicu oleh amblasnya mata uang Asia lain, seperti Baht Thailand, Peso Filipina, dan Won Korea Selatan. Tak perlu waktu lama, mata uang Garuda pun terkena imbasnya hingga menyentuh Rp16.800 /dolar Amerika Serikat (AS), atau titik terlemah sepanjang sejarah Indonesia.
Semua itu terjadi dalam waktu kurang dari setahun. Gara-gara dolar AS yang tinggi, harga barang-barang di dalam negeri pun melonjak. Maklum, Indonesia masih mengimpor barang dari luar negeri, termasuk kebutuhan pokok seperti beras, daging sapi, kedelai, gandum, dan sebagainya.
BACA : Mengukur Jejak Inflasi dari Satu Dus Mie
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), harga bahan makanan meroket 118% sepanjang krismon seiring akibat pelemahan rupiah. Saat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, sebagai syarat pinjaman International Monetary Fund (IMF), kerusuhan massal pun tak terhindarkan.
Perekonomian Indonesia kolaps. Inflasi pada tahun 1998 tercatat terus menanjak, dari semula hanya 7,17% year-on-year (YoY) pada Januari 1998, menjadi 56,67% YoY pada Juni 1998. Hal ini senada dengan nilai tukar rupiah yang melemah hingga 52,4% secara year-to-date (YTD) hingga 21 Mei 1998.
Setelah 20 tahun, krisis besar itu menjadi pelajaran berharga dan -terutama bagi masyarakat awam- trauma mendalam. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa pelemahan rupiah yang dalam dan cepat seperti saat ini, selalu dikaitkan dengan krismon dan identik dengan kenaikan harga bahan pokok.
Padahal dari sudut pandang skala kerusakan, pelemahan rupiah saat ini relatif lebih lunak dibandingkan dengan anjloknya mata uang garuda saat krisis. Sebagai catatan, secara YTD hingga 21 Mei 2018, nilai tukar rupiah hanya melemah 4,1% atau jauh lebih baik dari periode yang sama 1998 sebesar 52,4%.
Atas dasar tersebut, dampak pelemahan rupiah kali ini terhadap inflasi tidak akan semasif saat krismon 20 tahun silam. Terlebih, pada tahun 2005 telah dibentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) yang beranggotakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang bisa mengintervensi permintaan (suku bunga, penyaluran kredit, nilai tukar rupiah) dan Pemerintah yang menangani sisi penawaran (tarif pajak, pengeluaran pemerintah, distribusi barang). Alhasil, inflasi pun akan lebih terjaga.
Namun, apabila kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, struktur ekonomi Indonesia belum banyak berubah dalam 20 tahun terakhir. Kenyataannya saat ini Indonesia masih mengimpor beras, daging sapi, kedelai, dan gandum, persis sama dengan 2 dasawarsa lalu. Tidak hanya itu, RI juga masih mengimpor banyak sekali bahan baku utama industri.
Mengacu pada data UN Comtrade, dari 10 besar komoditas non-migas yang paling banyak diimpor Indonesia, hampir seluruhnya merupakan bahan baku. Dengan pelemahan rupiah yang berkelanjutan, bahan baku impor pun kian mahal. Biaya produksi perusahaan meningkat, dan ujung-ujungnya bebannya dialihkan ke konsumen dalam bentuk penaikan harga jual.
Sebagai contoh, nilai impor besi dan baja yang merupakan bahan baku proyek pembangunan infrastruktur, properti, dan otomotif Indonesia nilainya mencapai US$8,46 miliar (Rp 118,77 triliun) sepanjang 2017.
Dengan harga besi dan baja yang kian mahal, biaya pembangunan infrastruktur pun membengkak. Selain itu, harga properti seperti perumahan dan apartemen juga terdongkrak. Demikian juga dengan harga jual kendaraan bermotor.
PT Mitsubishi Krama Yudha Motors Sales Indonesia (MMKSI) bahkan sudah merencanakan kenaikan harga mobilnya hingga Rp 2 juta- Rp 3 juta mulai Mei 2018, menyusul pelemahan rupiah yang sudah menyentuh Rp 14.000.
Kemudian, ampas makanan untuk pakan ternak pun ternyata diimpor dengan nilai US$2,93 miliar pada tahun lalu. Alhasil, biaya produksi peternak pun meningkat dan mendongkrak harga produk peternakan sehari-hari seperti telur, sayur-mayur, dan daging. Hal ini diamini oleh Kementerian Pertanian.
"Daging ayam dan telur memang naik dua-tiga hari ini dari sekitar Rp32.000 ke Rp36.000 per kilogram karena harga pakan naik yang disebabkan dolar menguat. Kenaikan harga konsentrat pakan ini mencapai Rp100-150 per kilogram," ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi kepada CNBC Indonesia.
Singkat kata, pelemahan rupiah berdampak pada kenaikan harga seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat, dari mulai kebutuhan primer hingga tersier. Alhasil, inflasi pun pastinya akan terkerek naik. Kenaikan inflasi kemudian dapat dengan mudah mendorong kelompok masyarakat yang berdiri tipis di atas garis kemiskinan, terjerembab ke dalam jurang kemiskinan
Sekadar mengingatkan, imported inflation-inflasi yang terjadi karena kenaikan harga barang impor akibat depresiasi nilai tukar atau kenaikan ongkos produksi bahan baku tersebut di luar negeri-pada Maret lalu mencapai 7,81% (YoY), dua kali lipat dari inflasi headline Maret sebesar 3,4% (YoY).
Selama industri dalam negeri belum mampu memasok bahan baku untuk industri pengolahan, pelemahan nilai tukar rupiah akan selalu membayangi perekonomian Indonesia. Fenomena deindustrialisasi ini sudah diindikasikan dari terus menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Proporsi tahun 2017 (20,16%) bahkan masih di bawah posisi tahun 1998 (28%).
Ketergantungan terhadap bahan baku impor kemudian menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia yang secara kumulatif sudah mencapai US1,3 miliar pada 4 bulan awal tahun ini. Pasalnya, impor bahan baku/penolong berkontribusi sebesar 74,58% terhadap total impor RI pada periode Januari-April 2018.
Performa neraca perdangan yang kurang memuaskan lantas akan menyeret rupiah untuk terdepresiasi lebih jauh. Hal itu tercermin pada pelemahan rupiah sebesar 0,47% ke Rp 14.030/dolar AS merespon rilis neraca perdagangan April 2018. Sebagai catatan, defisit neraca perdagangan April lalu merupakan yang terburuk sejak 2014.
Kesimpulannya, pelemahan nilai tukar saat ini levelnya bisa jadi belum separah saat krisis 1998 karena saat ini tidak ada problem keuangan dalam skala masif seperti era 1998. Namun, pemerintah tidak boleh lengah, karena struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada impor (terutama dari sektor industri) yang bisa memberi persoalan dari sisi imported inflation tatkala rupiah terbanting.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Habibie: Penjinak Rupiah, Korbankan 'Anak' Demi Lewati Krisis
Tumbangnya Orde Baru juga menjadi puncak krisis politik saat itu, yang memanas karena bara krisis moneter dan ekonomi berkepanjangan sejak setahun sebelumnya, atau akrab di telinga kita dengan nama 'krismon'.
Sebagai catatan, peluit penanda dimulainya babak krismon di Indonesia adalah pelemahan nilai tukar rupiah, dipicu oleh amblasnya mata uang Asia lain, seperti Baht Thailand, Peso Filipina, dan Won Korea Selatan. Tak perlu waktu lama, mata uang Garuda pun terkena imbasnya hingga menyentuh Rp16.800 /dolar Amerika Serikat (AS), atau titik terlemah sepanjang sejarah Indonesia.
BACA : Mengukur Jejak Inflasi dari Satu Dus Mie
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), harga bahan makanan meroket 118% sepanjang krismon seiring akibat pelemahan rupiah. Saat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, sebagai syarat pinjaman International Monetary Fund (IMF), kerusuhan massal pun tak terhindarkan.
Perekonomian Indonesia kolaps. Inflasi pada tahun 1998 tercatat terus menanjak, dari semula hanya 7,17% year-on-year (YoY) pada Januari 1998, menjadi 56,67% YoY pada Juni 1998. Hal ini senada dengan nilai tukar rupiah yang melemah hingga 52,4% secara year-to-date (YTD) hingga 21 Mei 1998.
![]() |
Padahal dari sudut pandang skala kerusakan, pelemahan rupiah saat ini relatif lebih lunak dibandingkan dengan anjloknya mata uang garuda saat krisis. Sebagai catatan, secara YTD hingga 21 Mei 2018, nilai tukar rupiah hanya melemah 4,1% atau jauh lebih baik dari periode yang sama 1998 sebesar 52,4%.
Atas dasar tersebut, dampak pelemahan rupiah kali ini terhadap inflasi tidak akan semasif saat krismon 20 tahun silam. Terlebih, pada tahun 2005 telah dibentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) yang beranggotakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang bisa mengintervensi permintaan (suku bunga, penyaluran kredit, nilai tukar rupiah) dan Pemerintah yang menangani sisi penawaran (tarif pajak, pengeluaran pemerintah, distribusi barang). Alhasil, inflasi pun akan lebih terjaga.
Namun, apabila kita melihat dari sudut pandang yang lebih luas, struktur ekonomi Indonesia belum banyak berubah dalam 20 tahun terakhir. Kenyataannya saat ini Indonesia masih mengimpor beras, daging sapi, kedelai, dan gandum, persis sama dengan 2 dasawarsa lalu. Tidak hanya itu, RI juga masih mengimpor banyak sekali bahan baku utama industri.
![]() |
Mengacu pada data UN Comtrade, dari 10 besar komoditas non-migas yang paling banyak diimpor Indonesia, hampir seluruhnya merupakan bahan baku. Dengan pelemahan rupiah yang berkelanjutan, bahan baku impor pun kian mahal. Biaya produksi perusahaan meningkat, dan ujung-ujungnya bebannya dialihkan ke konsumen dalam bentuk penaikan harga jual.
Sebagai contoh, nilai impor besi dan baja yang merupakan bahan baku proyek pembangunan infrastruktur, properti, dan otomotif Indonesia nilainya mencapai US$8,46 miliar (Rp 118,77 triliun) sepanjang 2017.
Dengan harga besi dan baja yang kian mahal, biaya pembangunan infrastruktur pun membengkak. Selain itu, harga properti seperti perumahan dan apartemen juga terdongkrak. Demikian juga dengan harga jual kendaraan bermotor.
PT Mitsubishi Krama Yudha Motors Sales Indonesia (MMKSI) bahkan sudah merencanakan kenaikan harga mobilnya hingga Rp 2 juta- Rp 3 juta mulai Mei 2018, menyusul pelemahan rupiah yang sudah menyentuh Rp 14.000.
Kemudian, ampas makanan untuk pakan ternak pun ternyata diimpor dengan nilai US$2,93 miliar pada tahun lalu. Alhasil, biaya produksi peternak pun meningkat dan mendongkrak harga produk peternakan sehari-hari seperti telur, sayur-mayur, dan daging. Hal ini diamini oleh Kementerian Pertanian.
"Daging ayam dan telur memang naik dua-tiga hari ini dari sekitar Rp32.000 ke Rp36.000 per kilogram karena harga pakan naik yang disebabkan dolar menguat. Kenaikan harga konsentrat pakan ini mencapai Rp100-150 per kilogram," ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi kepada CNBC Indonesia.
Singkat kata, pelemahan rupiah berdampak pada kenaikan harga seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat, dari mulai kebutuhan primer hingga tersier. Alhasil, inflasi pun pastinya akan terkerek naik. Kenaikan inflasi kemudian dapat dengan mudah mendorong kelompok masyarakat yang berdiri tipis di atas garis kemiskinan, terjerembab ke dalam jurang kemiskinan
Sekadar mengingatkan, imported inflation-inflasi yang terjadi karena kenaikan harga barang impor akibat depresiasi nilai tukar atau kenaikan ongkos produksi bahan baku tersebut di luar negeri-pada Maret lalu mencapai 7,81% (YoY), dua kali lipat dari inflasi headline Maret sebesar 3,4% (YoY).
Selama industri dalam negeri belum mampu memasok bahan baku untuk industri pengolahan, pelemahan nilai tukar rupiah akan selalu membayangi perekonomian Indonesia. Fenomena deindustrialisasi ini sudah diindikasikan dari terus menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Proporsi tahun 2017 (20,16%) bahkan masih di bawah posisi tahun 1998 (28%).
![]() |
![]() |
Kesimpulannya, pelemahan nilai tukar saat ini levelnya bisa jadi belum separah saat krisis 1998 karena saat ini tidak ada problem keuangan dalam skala masif seperti era 1998. Namun, pemerintah tidak boleh lengah, karena struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada impor (terutama dari sektor industri) yang bisa memberi persoalan dari sisi imported inflation tatkala rupiah terbanting.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Habibie: Penjinak Rupiah, Korbankan 'Anak' Demi Lewati Krisis
Most Popular