Suku Bunga Sudah Naik, Rupiah di Kurs Acuan Terus Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 May 2018 10:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan masih melemah. Hal serupa juga terjadi di pasar spot, di mana rupiah yang sempat dibuka menguat justru kembali takluk di hadapan greenback.
Pada Selasa (22/5/2018), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.178. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:00 WIB diperdagangkan di Rp 14.185. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan penutupan kemarin.
Rupiah dibuka menguat 0,21% terhadap dolar AS. Namun seiring perjalanan, apresiasi rupiah terus menipis dan akhirnya dolar AS justru berbalik menguat.
Sementara mata uang kawasan bergerak variatif. Namun di antara mata uang yang melemah, rupiah bukan yang terparah karena dolar Taiwan dan rupee India melemah masing-masing 0,18%.
Berikut pergerakan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback:
Padahal, dolar AS masih cenderung melemah. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama, masih melemah, kali ini sebesar 0,11%.
Reli dolar AS yang bertahan cukup lama membuat investor tergiur mencairkan keuntungan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index menguat 0,37% sementara selama sebulan penguatannya mencapai 3,6%. Cukup menggoda.
Selain itu, perhatian investor juga mulai terpecah ke pasar obligasi. Aliran dana ke obligasi pemerintah AS meningkat, terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) dari 3,065% menjadi 3,052% untuk tenor 10 tahun.
Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik, dan kenaikan harga artinya permintaan sedang tinggi. Greenback rupanya tidak lagi menjadi primadona.
Dengan depresiasi dolar AS, semestinya bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk menguat. Namun nyatanya investor asing asih cenderung enggan masuk ke Indonesia. Di pasar saham, per pukul 10:15 WIB hari ini terjadi jual bersih investor asing sebesar Rp 120,25 miliar.
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pekan lalu sepertinya gagal membawa dampak positif bagi rupiah. Setidaknya ada dua penyebab.
Pertama, nampaknya kenaikan ini sudah agak terlambat, BI mungkin terlanjur behind the curve. Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan imbal hasil obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang.
Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan (sebelum pernyataan Gubernur BI Agus DW Martowardojo pada akhir April) membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu saat kenaikan suku bunga akhirnya dieksekusi, semua sudah terlambat.
Kedua, investor juga nampaknya menganggap kenaikan suku bunga acuan justru berpotensi menekan perekonomian domestik yang sebenarnya belum pulih. Lebih lanjut, pelemahan rupiah yang semakin menjadi-jadi telah menimbulkan persepsi bahwa BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan sebesar 25 basis poin lagi akan sangat mungkin ikut mengerek suku bunga kredit naik.
Masalahnya, penyaluran kredit saat ini masih lesu. Dalam kondisi suku bunga acuan yang lebih rendah seperti kemarin saja, pertumbuhan kredit baru di kisaran 8%. Jika suku bunga kredit naik, maka konsumen dan pelaku usaha akan berpikir ribuan kali sebelum mengajukan pinjaman ke bank. Akibatnya, profitabilitas bank menjadi taruhannya.
Ketika penyaluran kredit seret, maka mesin pertumbuhan ekonomi akan kehilangan pelumas. Oleh karena itu, sulit mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Mungkin sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada target 5,4% yang dipasang pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Selasa (22/5/2018), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.178. Rupiah melemah tipis 0,01% dibandingkan hari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:00 WIB diperdagangkan di Rp 14.185. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan penutupan kemarin.
Sementara mata uang kawasan bergerak variatif. Namun di antara mata uang yang melemah, rupiah bukan yang terparah karena dolar Taiwan dan rupee India melemah masing-masing 0,18%.
Berikut pergerakan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 110.90 | +0,13 |
Yuan China | 6,38 | +0,09 |
Won Korsel | 1.078,09 | -0,14 |
Dolar Taiwan | 29,93 | -0,18 |
Rupee India | 68,11 | -0,18 |
Dolar Singapura | 1,34 | +0,02 |
Ringgit Malaysia | 3,97 | +0,10 |
Peso Filipina | 52,31 | -0,02 |
Baht Thailand | 32,13 | +0,06 |
Padahal, dolar AS masih cenderung melemah. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama, masih melemah, kali ini sebesar 0,11%.
Reli dolar AS yang bertahan cukup lama membuat investor tergiur mencairkan keuntungan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index menguat 0,37% sementara selama sebulan penguatannya mencapai 3,6%. Cukup menggoda.
Selain itu, perhatian investor juga mulai terpecah ke pasar obligasi. Aliran dana ke obligasi pemerintah AS meningkat, terlihat dari penurunan imbal hasil (yield) dari 3,065% menjadi 3,052% untuk tenor 10 tahun.
Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik, dan kenaikan harga artinya permintaan sedang tinggi. Greenback rupanya tidak lagi menjadi primadona.
Dengan depresiasi dolar AS, semestinya bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk menguat. Namun nyatanya investor asing asih cenderung enggan masuk ke Indonesia. Di pasar saham, per pukul 10:15 WIB hari ini terjadi jual bersih investor asing sebesar Rp 120,25 miliar.
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pekan lalu sepertinya gagal membawa dampak positif bagi rupiah. Setidaknya ada dua penyebab.
Pertama, nampaknya kenaikan ini sudah agak terlambat, BI mungkin terlanjur behind the curve. Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan imbal hasil obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang.
Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan (sebelum pernyataan Gubernur BI Agus DW Martowardojo pada akhir April) membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu saat kenaikan suku bunga akhirnya dieksekusi, semua sudah terlambat.
Kedua, investor juga nampaknya menganggap kenaikan suku bunga acuan justru berpotensi menekan perekonomian domestik yang sebenarnya belum pulih. Lebih lanjut, pelemahan rupiah yang semakin menjadi-jadi telah menimbulkan persepsi bahwa BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan sebesar 25 basis poin lagi akan sangat mungkin ikut mengerek suku bunga kredit naik.
Masalahnya, penyaluran kredit saat ini masih lesu. Dalam kondisi suku bunga acuan yang lebih rendah seperti kemarin saja, pertumbuhan kredit baru di kisaran 8%. Jika suku bunga kredit naik, maka konsumen dan pelaku usaha akan berpikir ribuan kali sebelum mengajukan pinjaman ke bank. Akibatnya, profitabilitas bank menjadi taruhannya.
Ketika penyaluran kredit seret, maka mesin pertumbuhan ekonomi akan kehilangan pelumas. Oleh karena itu, sulit mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Mungkin sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal kepada target 5,4% yang dipasang pemerintah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular