
Investor Asing Kabur Rp 689 M, IHSG Jatuh 0,56%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 May 2018 16:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akahirnya ditutup melemah 0,56% ke level 5.783,31 setelah sepanjang hari hari berada di zona hijau. Koreksi IHSG terjadi pada saat mayoritas bursa saham kawasan Asia ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,4%, indeks Shanghai naik 1,23%, indeks Hang Seng naik 0,34%, indeks Kospi naik 0,5%, indeks SET (Thailand) naik 0,18%, dan indeks KLCI (Malaysia) naik 0,03%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 7,3 triliun dengan volume sebanyak 8,1 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 351.709 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,92%), PT Astra International Tbk/ASII (-2,97%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-1,36%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,67%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,88%).
Kenaikan suku bunga acuan sebanyak 25bps oleh Bank Indonesia (BI) terbukti tak ampuh untuk menenangkan pasar keuangan. Pada akhir perdagangan, rupiah justru melemah hingga 0,73% ke level Rp 14.150/dolar AS.
Merepson pelemahan rupiah, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 689 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 205,6 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 152,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 121,5 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 112,3 miliar), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 75,9 miliar).
Seperti yang kami utarakan sebelumnya, kenaikan suku bunga acuan sesungguhnya tak baik bagi ekonomi Indonesia dan pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ikut naik. Jika para perusahaan menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan.
Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang. Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Jika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian mustahil untuk dicapai.
Kemudian, ada persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pun, seiring dengan rupiah yang justru bergerak melemah pada hari ini. Apalagi, sinyal mengenai hal ini juga sudah diberikan kemarin oleh pimpinan bank sentral.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus DW Martowardojo.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, ekonomi Indonesia bisa semakin tertekan.
(ank/ank) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 7,3 triliun dengan volume sebanyak 8,1 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 351.709 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-1,92%), PT Astra International Tbk/ASII (-2,97%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-1,36%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,67%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,88%).
Merepson pelemahan rupiah, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 689 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 205,6 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 152,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 121,5 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 112,3 miliar), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 75,9 miliar).
Seperti yang kami utarakan sebelumnya, kenaikan suku bunga acuan sesungguhnya tak baik bagi ekonomi Indonesia dan pasar saham. Kenaikan suku bunga acuan akan mengerek naik suku bunga kredit dan imbal hasil obligasi yang pada akhirnya membuat biaya dana (cost of fund) dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ikut naik. Jika para perusahaan menaikkan harga jual produknya guna menjaga tingkat profitabilitas, konsumsi masyarakat bisa semakin tertekan.
Padahal, ekonomi Indonesia saat ini membutuhkan suntikan energi guna tumbuh lebih kencang. Pada kuartal-I 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,06%, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Jika kini suku bunga acuan dinaikkan, maka target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok oleh pemerintah di angka 5,4% kian mustahil untuk dicapai.
Kemudian, ada persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pun, seiring dengan rupiah yang justru bergerak melemah pada hari ini. Apalagi, sinyal mengenai hal ini juga sudah diberikan kemarin oleh pimpinan bank sentral.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Gubernur BI Agus DW Martowardojo.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, ekonomi Indonesia bisa semakin tertekan.
(ank/ank) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular