Kali Terakhir BI Naikkan Suku Bunga, Begini Respons IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 May 2018 14:43
Kali terakhir suku bunga acuan dinaikkan, IHSG bergerak menguat. Lantas, akankah hal yang sama terjadi lagi?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Perhatian pelaku pasar kini tertuju kepada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan digelar pada hari ini dan besok. Mengutip Reuters, konsensus untuk suku bunga acuan yang akan diumumkan besok berada di angka 4,5% atau 25bps lebih tinggi dibandingkan posisi saat ini.

Hal ini tentu menarik. Pasalnya, BI terbilang sudah sangat lama tak menaikkan suku bunga acuannya. Kali terakhir suku bunga acuan dinaikkan adalah pada 18 November 2014. Kala itu, suku bunga acuan yang masih menggunakan BI Rate dikerek naik 25bps menjadi 7,75%. Padahal lima hari sebelumnya suku bunga acuan diumumkan di angka 7,5%.

Keputusan yang mengejutkan tersebut diambil untuk mengantisipasi tekanan inflasi, pasca subsidi premium dicabut oleh Presiden Joko Widodo. "Jadi untuk memastikan inflasi pasca kenaikan harga BBM terkendali dalam 3 bulan," Jelas Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di kantor BI, Jakarta, Selasa (18/11/2014), seperti dikutip dari Detik Finance.

Kala itu, keputusan BI mendapat dukungan oleh pelaku pasar. Buktinya, IHSG menguat 0,5% pada hari perdagangan berikutnya (19/11/2014). Sampai dengan akhir tahun, penguatan IHSG bahkan mencapai 2,44%.

Walaupun sejatinya kenaikan suku bunga acuan bisa memperlambat penyaluran kredit (seiring naiknya suku bunga kredit), pelaku pasar nampak percaya terhadap prospek perekonomian Indonesia. Pencabutan subsidi BBM dinilai hanya berdampak sementara terhadap tekanan inflasi (yang pada akhirnya memaksa kenaikan suku bunga acuan).

Di sisi lain, pemerintah menjadi memiliki dana yang berlimpah untuk membangun infrastruktur yang akan menopang perekonomian dalam jangka menengah-panjang.

Kali ini bagaimana?
Kali ini, situasi yang sama nampak sulit untuk terjadi. Berbeda dengan tahun 2014, pelaku pasar kini sudah pesimis dengan prospek perekonomian Indonesia. Alasannya, pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo dapat dikatakan mengecewakan.

Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,88%, dimana ini merupakan pertumbuhan terendah sejak krisis keuangan global pada tahun 2009 silam. Setahun setelahnya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,03%, di bawah target APBNP yang dipatok sebesar 5,2%. Kemudian pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diumumkan di level 5,07%, lagi-lagi di bawah target yang sebesar 5,2%.

Pada tahun ini, ekonomi masih sulit untuk mencapai target nan ambisius yang dipasang di angka 5,4%. Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.

Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.

Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.

Dalam kondisi ekonomi yang sedang lesu seperti saat ini, sebenarnya suku bunga acuan rendah lah yang menjadi harapan pelaku pasar. Suku bunga acuan yang rendah akan membuat suku bunga kredit menjadi lebih murah, sehingga penyalurannya bisa digenjot.

Namun, memangkas suku bunga acuan memang sejatinya sulit atau bahkan mustahil untuk dilakukan, mengingat the Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 3-4 kali sepanjang tahun ini. Bahkan, langkah pengetatan moneter juga sudah diambil oleh beberapa negara tetangga seperti China, Singapura, dan Malaysia.

Sebenarnya, suku bunga acuan tetap saja sudah bisa memuaskan investor. Celakanya, kondisi yang dihadapi saat ini adalah kenaikan suku bunga acuan. Hal ini berpotensi mengerek suku bunga kredit naik dan menghambat penyalurannya.

Padahal, suku bunga sudah rendah saja penyaluran kredit sudah lambat: per akhir Maret 2018, BI mencatat penyaluran kredit hanya tumbuh sebesar 8,54% YoY, jauh dari target dua-digit yang mereka canangkan.

Respon dari pelaku pasar terkait dengan prospek kenaikan suku bunga acuan sebenarnya sudah mulai terlihat dalam beberapa hari terakhir. Sepanjang minggu ini, IHSG anjlok hingga 3,39%.

Pemicunya tak lain adalah saham-saham emiten perbankan, utamanya yang berada dalam kategori BUKU IV: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 8,3%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 6,7%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 6,6%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 5,4%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 3,1%.

Jadi, investor tak bisa terbuai oleh kejadian di masa lampau kala IHSG menguat ketika suku bunga acuan dinaikkan. Pasalnya, kondisi sudah berubah 180 derajat.

Dalam jangka pendek, mungkin ada respon positif dari kenaikan suku bunga acuan. Misalnya, rupiah dan IHSG bisa menguat. Namun, hal ini kemungkinan besar tak akan berlangsung lama.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular