Rupiah Melemah Ketiga Terdalam di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 May 2018 08:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini bergerak melemah. Keperkasaan dolar AS sepertinya masih akan berlanjut.
Pada Rabu (16/5/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dihargai Rp 14.065. Rupiah melemah 0,23% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Senasib dengan rupiah, mata uang Asia pun bergerak melemah. Depresiasi terdalam dialami rupee India dan yuan China sementara rupiah menduduki peringkat ketiga.
Berikut perkembangan sejumlah mata uang regional terhadap greenback:
Dolar AS memang tengah perkasa. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata utama dunia, masih melanjutkan penguatannya. Saat ini, indeks tersebut naik 0,12% dan dalam sepekan terakhir menguat 0,31%.
Apresiasi dolar AS didorong oleh lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun berada di 3,08%. Tertinggi dalam hampir 7 tahun terakhir.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik. Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara year-on-year (YoY) mencapai 4,7%.
Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi masyarakat pun meningkat. Dari sini pula peningkatan ekspektasi inflasi berasal. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan.
Perkembangan ini telah mendorong pelaku pasar memperkirakan The Fed hampir pasti menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitasnya adalah 95% untuk kenaikan 25 basis poin menjadi 1,75-2%, dan 5% untuk kenaikan 50 basis poin menjadi 2-2,25%.
Berita soal kenaikan suku bunga acuan pun menjadi bahan bakar penguatan dolar AS. Investor kini memburu dolar AS di pasar valas.
Sementara dari dalam negeri, kemungkinan pelaku pasar akan bergerak defensif karena menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pada esok hari. Pasar sudah menantikan janji manis BI, yang memberi kode keras dengan menyatakan ruang kenaikan suku bunga acuan cukup terbuka.
Sebenarnya kenaikan suku bunga acuan agak dilematis bagi perbankan. Di satu sisi kebijakan ini bisa meningkatkan profitabilitas, karena pendapatan bunga akan naik. Namun di sisi lain, permintaan kredit masih lesu sehingga kenaikan suku bunga simpanan tidak bisa begitu saja ditransmisikan ke suku bunga kredit. Per Maret 2018, pertumbuhan kredit baru 8,54% YoY, belum menyentuh dua digit.
Jika suku bunga kredit naik, maka alih-alih mendapat untung, bank malah bisa terimbas risiko kenaikan Non Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah. Bank masih dalam proses konsolidasi dari pembengkakan NPL pada 2015 akibat harga komoditas yang anjlok. Tentu bank tidak ingin pengalaman buruk itu terulang kembali.
Belum lagi kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak kepada perlambatan konsumsi. Padahal, konsumsi yang stagnan menjadi alasan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 kurang trengginas, yaitu hanya 5,06%. Menaikkan suku bunga sama dengan mengerem konsumsi dan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Rabu (16/5/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar spot dihargai Rp 14.065. Rupiah melemah 0,23% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Senasib dengan rupiah, mata uang Asia pun bergerak melemah. Depresiasi terdalam dialami rupee India dan yuan China sementara rupiah menduduki peringkat ketiga.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 110,32 | +0,02 |
Yuan China | 6,38 | -0,63 |
Won Korsel | 1.080,10 | +0,01 |
Dolar Taiwan | 29,92 | -0,04 |
Rupee India | 68,07 | -0,77 |
Dolar Singapura | 1,34 | +0,04 |
Ringgit Malaysia | 3,96 | -0,15 |
Peso Filipina | 52,39 | +0,14 |
Baht Thailand | 32,13 | -0,03 |
Dolar AS memang tengah perkasa. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata utama dunia, masih melanjutkan penguatannya. Saat ini, indeks tersebut naik 0,12% dan dalam sepekan terakhir menguat 0,31%.
Apresiasi dolar AS didorong oleh lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun berada di 3,08%. Tertinggi dalam hampir 7 tahun terakhir.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik. Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara year-on-year (YoY) mencapai 4,7%.
Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi masyarakat pun meningkat. Dari sini pula peningkatan ekspektasi inflasi berasal. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan.
Perkembangan ini telah mendorong pelaku pasar memperkirakan The Fed hampir pasti menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitasnya adalah 95% untuk kenaikan 25 basis poin menjadi 1,75-2%, dan 5% untuk kenaikan 50 basis poin menjadi 2-2,25%.
Berita soal kenaikan suku bunga acuan pun menjadi bahan bakar penguatan dolar AS. Investor kini memburu dolar AS di pasar valas.
Sementara dari dalam negeri, kemungkinan pelaku pasar akan bergerak defensif karena menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pada esok hari. Pasar sudah menantikan janji manis BI, yang memberi kode keras dengan menyatakan ruang kenaikan suku bunga acuan cukup terbuka.
Sebenarnya kenaikan suku bunga acuan agak dilematis bagi perbankan. Di satu sisi kebijakan ini bisa meningkatkan profitabilitas, karena pendapatan bunga akan naik. Namun di sisi lain, permintaan kredit masih lesu sehingga kenaikan suku bunga simpanan tidak bisa begitu saja ditransmisikan ke suku bunga kredit. Per Maret 2018, pertumbuhan kredit baru 8,54% YoY, belum menyentuh dua digit.
Jika suku bunga kredit naik, maka alih-alih mendapat untung, bank malah bisa terimbas risiko kenaikan Non Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah. Bank masih dalam proses konsolidasi dari pembengkakan NPL pada 2015 akibat harga komoditas yang anjlok. Tentu bank tidak ingin pengalaman buruk itu terulang kembali.
Belum lagi kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak kepada perlambatan konsumsi. Padahal, konsumsi yang stagnan menjadi alasan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 kurang trengginas, yaitu hanya 5,06%. Menaikkan suku bunga sama dengan mengerem konsumsi dan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular