
Dulu IHSG Bisa Naik Saat Rupiah Melemah, Sekarang Kok Tidak?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 May 2018 15:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah menjadi momok bagi Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini. Rupiah yang terus terdepresiasi sepanjang tahun membuat investor, baik domestik maupun asing, kabur dari bursa saham.
Hal ini tentu menarik untuk dicermati. Pasalnya, dulu IHSG bisa tetap naik walaupun rupiah terdepresiasi.
Pada tahun 2010-2014, IHSG terus melesat, terlepas dari rupiah yang terus-menerus terdepresiasi terhadap dolar AS. Namun, yang terjadi pada tahun ini justru kebalikannya. Sepanjang tahun ini sampai dengan akhir perdagangan kemarin (8/5/2018), rupiah sudah terdepresiasi 3,2% terhadap dolar AS. Di sisi lain, IHSG anjlok hingga 7,4%.
Apa yang membuat IHSG tak bisa lagi menguat ditengah pelemahan rupiah?
Pada periode 2010-2013, pertumbuhan ekonomi bisa tetap dijaga di level yang tinggi. Secara berurutan pada tahun 2010-2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 6,22%, 6,17%, 6,03%, dan 5,56%. Periode tersebut merupakan masa kejayaan ekonomi Indonesia.
Memasuki 2014, penguatan IHSG dipicu oleh terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden. Reformasi yang ditawarkan Wali Kota Solo ini berhasil meyakinkan pelaku pasar untuk tetap berbelanja di bursa saham, terlepas dari depresiasi rupiah yang tetap terjadi.
Namun, memasuki tahun 2015 kondisinya berubah. Sepanjang 2015, rupiah melemah hingga 10,7% terhadap dolar AS, diiringi IHSG yang meluncur turun 12,1%. Hal ini terjadi lantaran laju ekonomi sudah tak lagi bisa dipertahankan di level yang tinggi. Kala itu, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,88%, dimana ini merupakan level terendah sejak 2009 (krisis keuangan global).
Pada tahun 2016 rupiah menguat 2,3% terhadap dolar AS dan pada tahun berikutnya, rupiah melemah 0,7% terhadap dolar AS. Pergerakan rupiah yang relatif tipis pada 2 tahun tersebut menjadi kurang kuat guna dipakai untuk menganalisis hubungan antara rupiah dan IHSG. Barulah pada tahun 2018 pergerakan rupiah menjadi relevan kembali untuk digunakan.
Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi diproyeksikan masih lemah. Terlepas dari target ambisius yang dipatok di angka 5,4%, pelaku pasar percaya bahwa realisasinya akan jauh di bawah target.
Pasalnya, konsumsi rumah tangga yang membentuk lebih dari 50% ekonomi Indonesia masih berada dalam tekanan. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94% YoY. Jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga tak menyentuh 5%, akan luar biasa berat bagi ekonomi Indonesia untuk dapat tumbuh di kisaran 5%.
Memasuki kuartal-II, kondisinya belum juga membaik. Hal ini terungkap dari angka sementara pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode April yang diumumkan Bank Indonesia (BI) di level 3,49% YoY, lebih rendah dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,2% YoY.
Pemerintah bisa saja berkilah bahwa pelemahan rupiah akan berdampak positif bagi APBN. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara memandang, pelemahan rupiah akan berdampak positif terhadap penerimaan negara. Hal itu lantaran tambahan pendapatan yang lebih besar dibandingkan tambahan pengeluaran.
Komentar Suahasil ini kemungkinan besar mengacu kepada tambahan penerimaan dari pos yang berkaitan dengan minyak dan gas (migas), seperti yang sebelumnya diungkapkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.
Namun, dalam prakteknya belum tentu hal tersebut yang terjadi. Pasalnya, pelemahan rupiah sangat mungkin membuat masyarakat Indonesia mengurangi konsumsinya lantaran harga barang-barang impor menjadi mahal. Jika ini yang terjadi, maka penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berkurang. Padahal, PPN merupakan elemen yang sangat penting bagi penerimaan negara.
Dalam APBN 2018, penerimaan dari PPN dipatok sebesar Rp 541,8 triliun atau setara dengan 28,6% dari total target pendapatan negara yang sebesar Rp 1.894,7 triliun. Jika konsumsi masyarakat tertekan dan penerimaan PPN meleset, maka laju ekonomi dalam negeri akan ikut tertekan.
(hps) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Hal ini tentu menarik untuk dicermati. Pasalnya, dulu IHSG bisa tetap naik walaupun rupiah terdepresiasi.
![]() |
Apa yang membuat IHSG tak bisa lagi menguat ditengah pelemahan rupiah?
Pada periode 2010-2013, pertumbuhan ekonomi bisa tetap dijaga di level yang tinggi. Secara berurutan pada tahun 2010-2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 6,22%, 6,17%, 6,03%, dan 5,56%. Periode tersebut merupakan masa kejayaan ekonomi Indonesia.
Memasuki 2014, penguatan IHSG dipicu oleh terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden. Reformasi yang ditawarkan Wali Kota Solo ini berhasil meyakinkan pelaku pasar untuk tetap berbelanja di bursa saham, terlepas dari depresiasi rupiah yang tetap terjadi.
Namun, memasuki tahun 2015 kondisinya berubah. Sepanjang 2015, rupiah melemah hingga 10,7% terhadap dolar AS, diiringi IHSG yang meluncur turun 12,1%. Hal ini terjadi lantaran laju ekonomi sudah tak lagi bisa dipertahankan di level yang tinggi. Kala itu, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,88%, dimana ini merupakan level terendah sejak 2009 (krisis keuangan global).
Pada tahun 2016 rupiah menguat 2,3% terhadap dolar AS dan pada tahun berikutnya, rupiah melemah 0,7% terhadap dolar AS. Pergerakan rupiah yang relatif tipis pada 2 tahun tersebut menjadi kurang kuat guna dipakai untuk menganalisis hubungan antara rupiah dan IHSG. Barulah pada tahun 2018 pergerakan rupiah menjadi relevan kembali untuk digunakan.
Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi diproyeksikan masih lemah. Terlepas dari target ambisius yang dipatok di angka 5,4%, pelaku pasar percaya bahwa realisasinya akan jauh di bawah target.
Pasalnya, konsumsi rumah tangga yang membentuk lebih dari 50% ekonomi Indonesia masih berada dalam tekanan. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94% YoY. Jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga tak menyentuh 5%, akan luar biasa berat bagi ekonomi Indonesia untuk dapat tumbuh di kisaran 5%.
Memasuki kuartal-II, kondisinya belum juga membaik. Hal ini terungkap dari angka sementara pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode April yang diumumkan Bank Indonesia (BI) di level 3,49% YoY, lebih rendah dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,2% YoY.
Pemerintah bisa saja berkilah bahwa pelemahan rupiah akan berdampak positif bagi APBN. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara memandang, pelemahan rupiah akan berdampak positif terhadap penerimaan negara. Hal itu lantaran tambahan pendapatan yang lebih besar dibandingkan tambahan pengeluaran.
Komentar Suahasil ini kemungkinan besar mengacu kepada tambahan penerimaan dari pos yang berkaitan dengan minyak dan gas (migas), seperti yang sebelumnya diungkapkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani.
Namun, dalam prakteknya belum tentu hal tersebut yang terjadi. Pasalnya, pelemahan rupiah sangat mungkin membuat masyarakat Indonesia mengurangi konsumsinya lantaran harga barang-barang impor menjadi mahal. Jika ini yang terjadi, maka penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berkurang. Padahal, PPN merupakan elemen yang sangat penting bagi penerimaan negara.
Dalam APBN 2018, penerimaan dari PPN dipatok sebesar Rp 541,8 triliun atau setara dengan 28,6% dari total target pendapatan negara yang sebesar Rp 1.894,7 triliun. Jika konsumsi masyarakat tertekan dan penerimaan PPN meleset, maka laju ekonomi dalam negeri akan ikut tertekan.
(hps) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok
Most Popular