
Di Asia, Pelemahan Rupiah Nomor 2 Terparah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 May 2018 16:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah cukup dalam pada perdagangan hari ini. Bahkan dolar AS sempat menembus kisaran Rp 14.000.
Pada Senin (7/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.995. Rupiah melemah 0,43 % dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Hari ini, dolar AS sempat menembus level Rp 14.000 tepatnya di Rp 14.005. Ini merupakan posisi terkuat dolar AS sejak akhir 2015.
Untuk perdagangan hari ini, posisi terkuat dolar AS ada di Rp 14.005. Sementara terlemahnya ada di Rp 13.935 saat pembukaan pasar.
Senasib dengan rupiah, mata uang kawasan pun melemah terhadap dolar AS. Pelemahan terdalam dialami oleh won Korea Selatan, yang terdepreasi sampai lebih dari 6%. Rupiah menyusul di posisi kedua.
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback:
Dolar AS menjadi garang saat investor melihat prospek penguatan greenback ke depan. Pemicunya adalah potensi kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam yang bisa saja lebih dari perkiraan.
Raphael Bostic, Presiden The Federal Reserve/The Fed Atlanta, menyatakan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali pada 2018 (sesuai dengan perkiraan pasar) masih relevan. Namun dirinya terbuka jika ada kebutuhan untuk menaikkan lebih dari itu.
"Saya cukup dengan dengan (kenaikan suku bunga acuan) tiga kali untuk saat ini. Namun saya terbuka jika situasi mengarah ke tujuan lain. Apakah itu dua kali, atau empat kali, tergantung data yang ada," ungkap Bostic, dikutip dari Reuters.
Ditambah lagi, lanjut Bostic, perekonomian AS cenderung membaik. Ini menyebabkan tekanan inflasi akan meningkat pada bulan-bulan mendatang.
Terakhir, angka pengangguran AS pada periode April 2018 tercatat 3,9%. Ini merupakan yang terendah sejak tahun 2000.
"Jika Anda lihat, ekonomi bergerak naik. Ada banyak stimulus seperti pemotongan tarif pajak. Jadi, potensi percepatan laju ekonomi (upside potential) masih ada," tutur Bostic.
Perkataan Bostic yang sangat hawkish ini menandakan The Fed siap untuk menaikkan dosis kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali pada 2018. Akibatnya, dolar AS mendapat suntikan doping yang luar biasa sehingga menguat terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah.
Dari dalam negeri, ada pula sentimen yang menjadi pemberat rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2018 sebesar 5,06%. Jauh di bawah konsensus pasar yaitu di 5,18%.
Perkembangan ini bisa memunculkan persepsi negatif bagi Indonesia. Sebab, Indonesia bisa dinilai belum tumbuh sesuai potensinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Senin (7/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.995. Rupiah melemah 0,43 % dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Hari ini, dolar AS sempat menembus level Rp 14.000 tepatnya di Rp 14.005. Ini merupakan posisi terkuat dolar AS sejak akhir 2015.
![]() |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,31 | -0,20 |
Yuan China | 6,36 | -0,01 |
Won Korsel | 1.079,27 | -6,16 |
Dolar Taiwan | 29,81 | -0,15 |
Dolar Singapura | 1,34 | -0,01 |
Ringgit Malaysia | 3,94 | -0,01 |
Peso Filipina | 51,88 | -0,24 |
Baht Thailand | 31,84 | -0,09 |
Dolar AS menjadi garang saat investor melihat prospek penguatan greenback ke depan. Pemicunya adalah potensi kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam yang bisa saja lebih dari perkiraan.
Raphael Bostic, Presiden The Federal Reserve/The Fed Atlanta, menyatakan kenaikan suku bunga sebanyak tiga kali pada 2018 (sesuai dengan perkiraan pasar) masih relevan. Namun dirinya terbuka jika ada kebutuhan untuk menaikkan lebih dari itu.
"Saya cukup dengan dengan (kenaikan suku bunga acuan) tiga kali untuk saat ini. Namun saya terbuka jika situasi mengarah ke tujuan lain. Apakah itu dua kali, atau empat kali, tergantung data yang ada," ungkap Bostic, dikutip dari Reuters.
Ditambah lagi, lanjut Bostic, perekonomian AS cenderung membaik. Ini menyebabkan tekanan inflasi akan meningkat pada bulan-bulan mendatang.
Terakhir, angka pengangguran AS pada periode April 2018 tercatat 3,9%. Ini merupakan yang terendah sejak tahun 2000.
"Jika Anda lihat, ekonomi bergerak naik. Ada banyak stimulus seperti pemotongan tarif pajak. Jadi, potensi percepatan laju ekonomi (upside potential) masih ada," tutur Bostic.
Perkataan Bostic yang sangat hawkish ini menandakan The Fed siap untuk menaikkan dosis kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali pada 2018. Akibatnya, dolar AS mendapat suntikan doping yang luar biasa sehingga menguat terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah.
Dari dalam negeri, ada pula sentimen yang menjadi pemberat rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2018 sebesar 5,06%. Jauh di bawah konsensus pasar yaitu di 5,18%.
Perkembangan ini bisa memunculkan persepsi negatif bagi Indonesia. Sebab, Indonesia bisa dinilai belum tumbuh sesuai potensinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular