
Kerja Keras BI Mampu Redam Pelemahan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 May 2018 16:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup stagnan pada hari ini. Sepertinya Bank Indonesia (BI) berusaha cukup keras untuk menjaga rupiah tidak melemah.
Pada Jumat (4/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.935. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Namun sejatinya rupiah cukup tertekan hari ini. Rupiah banyak menghabiskan waktu di teritori negatif sebelum akhirnya mampu menutup hari di wilayah netral. Posisi terlemah rupiah ada di Rp 13.947/US$ sementara terkuatnya di Rp 13.925/US$ kala pembukaan pasar.
Mata uang Asia pun kurang bertaji di hadapan greenback. Depresiasi terdalam dialami oleh won Korea Selatan yang mencapai lebih dari 1%. Sementara peso Filipina dan yen Jepang menjadi sedikit dari mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS.
Dolar AS yang sempat defensif kembali garang. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat 0,19%. Indeks ini baru mulai mulai menanjak jelang siang hari.
Sepertinya investor sudah mulai berburu greenback jelang pengumuman data angka pengangguran AS. Pada Maret, angka pengangguran AS adalah 4,1%. Jika angka ini turun, maka kabar baik malah akan menjadi kabar buruk.
Positifnya data-data ekonomi AS justru kerap direspons berlebihan. Pasalnya, di setiap kabar baik itu terselip kekhawatiran perekonomian AS bergerak terlalu cepat (overheating).
Jika ekonomi bergerak cepat, maka hasilnya adalah inflasi. Ketika inflasi melaju kencang, maka obatnya adalah kenaikan suku bunga acuan yang bila perlu secara agresif.
Inilah yang kemudian memicu investor lari ke dolar AS. Mata uang memang akan merespons positif setiap potensi kenaikan suku bunga, karena inflasi dapat terjangkar dan nilai mata uang bisa naik.
Ketika dolar AS perkasa, maka dampaknya adalah tekanan terhadap mata uang dunia. Rupiah pun tidak terkecuali. Mungkin rupiah patut berterima kasih kepada BI, karena tanpa kehadiran bank sentral sepertinya rupiah akan bernasib sama dengan mata uang Asia. Kehadiran BI untuk stabilisasi kurs akhir-akhir ini cukup terasa.
Seperti diketahui, BI menjalankan twin operation dengan melakukan stabilisasi kurs di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Ketika rupiah melemah, BI melakukan absorbsi dengan membeli SBN. Dengan menyerap likuiditas rupiah di pasar, diharapkan nilai mata uang ini bisa lebih terapresiasi.
Terlihat bahwa sepanjang April kepemilikan SBN oleh BI terus meningkat. Pada akhir April, BI memiliki SBN senilai Rp 136,68 triliun. Naik 45,09% dibandingkan posisi awal bulan. Kehadiran BI cukup berhasil menstabilkan pasar SBN, dan membuat rupiah tidak melemah lebih dalam (setidaknya tidak sampai menembus Rp 14.000/US$).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Jumat (4/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.935. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Namun sejatinya rupiah cukup tertekan hari ini. Rupiah banyak menghabiskan waktu di teritori negatif sebelum akhirnya mampu menutup hari di wilayah netral. Posisi terlemah rupiah ada di Rp 13.947/US$ sementara terkuatnya di Rp 13.925/US$ kala pembukaan pasar.
![]() |
Mata uang Asia pun kurang bertaji di hadapan greenback. Depresiasi terdalam dialami oleh won Korea Selatan yang mencapai lebih dari 1%. Sementara peso Filipina dan yen Jepang menjadi sedikit dari mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,05 | +0,13 |
Yuan China | 6,36 | -0,01 |
Won Korsel | 1.075,90 | -1,34 |
Dolar Taiwan | 29,72 | -0,05 |
Dolar Singapura | 1,33 | 0,00 |
Ringgit Malaysia | 3,94 | -0,01 |
Peso Filipina | 51,66 | +0,09 |
Baht Thailand | 31,72 | -0,11 |
Dolar AS yang sempat defensif kembali garang. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat 0,19%. Indeks ini baru mulai mulai menanjak jelang siang hari.
![]() |
Sepertinya investor sudah mulai berburu greenback jelang pengumuman data angka pengangguran AS. Pada Maret, angka pengangguran AS adalah 4,1%. Jika angka ini turun, maka kabar baik malah akan menjadi kabar buruk.
Positifnya data-data ekonomi AS justru kerap direspons berlebihan. Pasalnya, di setiap kabar baik itu terselip kekhawatiran perekonomian AS bergerak terlalu cepat (overheating).
Jika ekonomi bergerak cepat, maka hasilnya adalah inflasi. Ketika inflasi melaju kencang, maka obatnya adalah kenaikan suku bunga acuan yang bila perlu secara agresif.
Inilah yang kemudian memicu investor lari ke dolar AS. Mata uang memang akan merespons positif setiap potensi kenaikan suku bunga, karena inflasi dapat terjangkar dan nilai mata uang bisa naik.
Ketika dolar AS perkasa, maka dampaknya adalah tekanan terhadap mata uang dunia. Rupiah pun tidak terkecuali. Mungkin rupiah patut berterima kasih kepada BI, karena tanpa kehadiran bank sentral sepertinya rupiah akan bernasib sama dengan mata uang Asia. Kehadiran BI untuk stabilisasi kurs akhir-akhir ini cukup terasa.
Seperti diketahui, BI menjalankan twin operation dengan melakukan stabilisasi kurs di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Ketika rupiah melemah, BI melakukan absorbsi dengan membeli SBN. Dengan menyerap likuiditas rupiah di pasar, diharapkan nilai mata uang ini bisa lebih terapresiasi.
Terlihat bahwa sepanjang April kepemilikan SBN oleh BI terus meningkat. Pada akhir April, BI memiliki SBN senilai Rp 136,68 triliun. Naik 45,09% dibandingkan posisi awal bulan. Kehadiran BI cukup berhasil menstabilkan pasar SBN, dan membuat rupiah tidak melemah lebih dalam (setidaknya tidak sampai menembus Rp 14.000/US$).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular