
Lagi-Lagi Polemik Iran Lambungkan Harga Minyak
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 May 2018 10:47

Harga minyak bergerak ditutup menguat kemarin, didorong oleh perkembangan tensi geopolitik antara AS dan Iran. Selain itu, tingkat kepatuhan anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam memangkas produksi juga diekspektasikan masih tinggi.
Pada perdagangan hari Kamis (3/5), harga minyak jenis Light Sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 ditutup menguat 0,74% ke US$68,43/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 naik 0,35% ke US$73,62/barel.
Sentimen utama bagi penguatan harga minyak kemarin adalah pihak Teheran yang berkeras menolak perubahan atas perjanjian program nuklir yang dibuat dengan AS dan negara-negara barat pada 2015. "Iran tidak akan melakukan renegosiasi atas apa yang sudah disepakati dan dijalankan bertahun-tahun ini," tegas Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, seperti dikutip dari Reuters.
Bahkan bila AS cs tetap ingin mengubah kesepakatan yang dibuat pada masa Presiden Barack Obama tersebut, maka Iran justru akan keluar. "Bila AS dan sekutunya mencoba merevisi perjanjian, maka salah satu opsi kami adalah keluar dari perjanjian itu," kata Ali Akbar Velayati, Penasihat Senior Pemimpin Tertinggi Iran.
Dari pihak negeri Paman Sam, Trump berencana menentukan langkah selanjutnya pada 12 Mei mendatang. Eks taipan properti ini kerap kali mengatakan isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti dalam hal pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah. Oleh karena itu, Trump meminta harus ada perubahan mendasar atau AS akan menarik diri dari kesepakatan.
Jika kesepakatan ini gugur, maka kemungkinan besar Iran akan kembali mendapatkan sanksi embargo ekonomi atas tuduhan pengayaan uranium. Sanksi ekonomi tentu akan mempengaruhi produksi dan ekspor minyak Iran.
Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi, dan akhirnya mengganggu pasokan minyak global.
Sementara itu, pihak Uni Eropa masih dalam posisinya yang mengharapkan pemerintahan Trump tetap menjaga kesepakan nuklir Iran yang dibangun pada tahun 2015 ini. Sebagai tambahan, pihak Benua Biru juga menyatakan akan berusaha menjaga kerjasama bisnis antara Iran dan Uni Eropa, apabila AS memutuskan keluar dari kesepakatan, seperti dilaporkan Reuters.
Kenaikan harga si emas hitam kemarin juga didorong oleh ekspektasi kepatuhan para anggota OPEC dalam mengurangi produksinya. Seperti diketahui, OPEC (dipimpin oleh Arab Saudi) dan negara-negara produsen minyak non-OPEC (dipimpin oleh Rusi) telah menyepakati kebijakan pemangkasan produksi hingga akhir 2018, dengan tujuan mencegah anjloknya harga minyak.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan produksi minyak dunia pada April adalah 32 juta barel/hari. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 32,5 juta barel/hari.
Hingga pukul 09.24 WIB pagi ini harga minyak stabil cenderung melemah, di mana baik Brent dan Light Sweet sama-sama bergerak terkoreksi sekitar 0,05%. Adalah peningkatan cadangan minyak mentah di AS yang membatasi penguatan harga minyak pagi ini.
US Energy Information Administration (EIA) mencatat cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel. Capaian tersebut jauh melampaui ekspektasi pasar yang hanya memprediksi peningkatan sebesar 1 juta barel.
Selain itu, produksi minyak mentah Negeri Paman Sam juga kembali mencatatkan rekor di angka 10,62 juta barel per hari (bph). Padahal pada akhir 2017, produksi AS masih di bawah 10 juta bph. Dengan catatan itu, AS telah melampaui volume produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
(RHG/wed) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Pada perdagangan hari Kamis (3/5), harga minyak jenis Light Sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 ditutup menguat 0,74% ke US$68,43/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 naik 0,35% ke US$73,62/barel.
![]() |
Sentimen utama bagi penguatan harga minyak kemarin adalah pihak Teheran yang berkeras menolak perubahan atas perjanjian program nuklir yang dibuat dengan AS dan negara-negara barat pada 2015. "Iran tidak akan melakukan renegosiasi atas apa yang sudah disepakati dan dijalankan bertahun-tahun ini," tegas Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, seperti dikutip dari Reuters.
Dari pihak negeri Paman Sam, Trump berencana menentukan langkah selanjutnya pada 12 Mei mendatang. Eks taipan properti ini kerap kali mengatakan isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti dalam hal pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah. Oleh karena itu, Trump meminta harus ada perubahan mendasar atau AS akan menarik diri dari kesepakatan.
Jika kesepakatan ini gugur, maka kemungkinan besar Iran akan kembali mendapatkan sanksi embargo ekonomi atas tuduhan pengayaan uranium. Sanksi ekonomi tentu akan mempengaruhi produksi dan ekspor minyak Iran.
Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi, dan akhirnya mengganggu pasokan minyak global.
Sementara itu, pihak Uni Eropa masih dalam posisinya yang mengharapkan pemerintahan Trump tetap menjaga kesepakan nuklir Iran yang dibangun pada tahun 2015 ini. Sebagai tambahan, pihak Benua Biru juga menyatakan akan berusaha menjaga kerjasama bisnis antara Iran dan Uni Eropa, apabila AS memutuskan keluar dari kesepakatan, seperti dilaporkan Reuters.
Kenaikan harga si emas hitam kemarin juga didorong oleh ekspektasi kepatuhan para anggota OPEC dalam mengurangi produksinya. Seperti diketahui, OPEC (dipimpin oleh Arab Saudi) dan negara-negara produsen minyak non-OPEC (dipimpin oleh Rusi) telah menyepakati kebijakan pemangkasan produksi hingga akhir 2018, dengan tujuan mencegah anjloknya harga minyak.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan produksi minyak dunia pada April adalah 32 juta barel/hari. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 32,5 juta barel/hari.
Hingga pukul 09.24 WIB pagi ini harga minyak stabil cenderung melemah, di mana baik Brent dan Light Sweet sama-sama bergerak terkoreksi sekitar 0,05%. Adalah peningkatan cadangan minyak mentah di AS yang membatasi penguatan harga minyak pagi ini.
US Energy Information Administration (EIA) mencatat cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel. Capaian tersebut jauh melampaui ekspektasi pasar yang hanya memprediksi peningkatan sebesar 1 juta barel.
Selain itu, produksi minyak mentah Negeri Paman Sam juga kembali mencatatkan rekor di angka 10,62 juta barel per hari (bph). Padahal pada akhir 2017, produksi AS masih di bawah 10 juta bph. Dengan catatan itu, AS telah melampaui volume produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
(RHG/wed) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Most Popular