Cadangan Devisa Diguyur Jaga Rupiah, Dana Asing Tetap Kabur

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 April 2018 16:04
Cadangan Devisa Diguyur Jaga Rupiah, Dana Asing Tetap Kabur
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal hingga akhir 2017, Indonesia berhasil memupuk cadangan devisa. Namun hasilnya banyak terpakai untuk stabilisasi rupiah, yang ternyata juga tidak mampu membendung depresiasi mata uang ini. 

Pada awal 2017, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 116,9 miliar dan pada akhir tahun lalu naik menjadi US$ 130,2 miliar. Artinya ada kenaikan 11,38%. 

Cadangan devisa masih naik pada Januari 2018 menjadi US$ 132 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun selepas itu, cadangan devisa terus turun hingga menyentuh US$ 126 miliar pada akhir Maret. Dibandingkan posisi awal tahun, cadangan devisa sudah merosot US$ 6 miliar atau 4,76%.

Efektifkah Penggunaan Cadangan Devisa untuk Topang Rupiah?BI
Salah satu penyebab penurunan cadangan devisa adalah stabilisasi kurs. Tahun lalu, banyak yang memperkirakan bahwa 2018 adalah periode yang penuh optimisme, penuh suka cita, dengan pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik. Namun, ternyata yang terjadi tidak seindah itu. 

Pada Januari, hawa indah itu masih ada. Pasar saham melonjak, imbal hasil (yield) obligasi turun, dan rupiah sempat perkasa di kisaran Rp 13.200/US$.

Namun memasuki Februari, semua mulai berbalik.
 Semua dimulai dengan persepsi bahwa suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS) akan dinaikkan secara lebih agresif. Sebab, data-data ekonomi AS terus menunjukkan perbaikan. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pun menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2,5% menjadi 2,7%. 

Pemulihan ekonomi akan berdampak pada percepatan laju inflasi, yang memang perlu dilawan dengan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu, muncul persepsi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali pada 2018. Lebih banyak dibandingkan perkiraan yaitu tiga kali. 

Situasi diperparah dengan memanasnya hubungan dagang antara AS dan China. Aksi saling proteksi dilakukan dua perekonomian terbesar dunia tersebut, melahirkan apa yang disebut dengan perang dagang. 

Teranyar, yield obligasi pemerintah AS naik hingga menembus level 3% untuk tenor 10 tahun. Yield ini bahkan menjadi yang tertinggi sejak 2011. 

Kenaikan yield menandakan ada lonjakan ekspektasi inflasi. Hal ini lagi-lagi memunculkan pembacaan bahwa The Fed akan agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. 
Berbagai perkembangan tersebut membuat nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif cenderung melemah. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 2,3%. 

Di antara mata uang negara-negara Asia, pelemahan rupiah termasuk yang paling dalam. Hanya rupee India yang depresiasinya lebih dalam ketimbang rupiah. 

Efektifkah Penggunaan Cadangan Devisa untuk Topang Rupiah?Reuters
Salah satu penyebab pelemahan rupiah adalah keluarnya dana asing di pasar keuangan. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 33,31 triliun.

Di obligasi negara, sebenarnya investor asing masih membukukan beli bersih Rp 11,45 triliun. Jumlah ini belum bisa menutup arus keluar modal di pasar saham. 

Dari awal tahun sampai akhir Maret, cadangan devisa sudah terpakai sekitar Rp 82,8 triliun. Namun itu tidak mampu menahan investor asing untuk menahan dananya di Indonesia, karena di pasar saham dan obligasi terjadi jual bersih Rp 21,96 triliun.

Ini menimbulkan pertanyaan. Apakah penggunaan cadangan devisa yang begitu besar cukup efektif dalam menahan pelemahan kurs? Sebab, 'guyuran' valas pun tidak mampu menjaga kepercayaan investor asing, dan mereka tetap pergi sehingga membuat rupiah bergerak melemah. Pelemahan rupiah dan tergerusnya cadangan devisa adalah hal yang agak berulang. Penyebabnya adalah transaksi berjalan (current account) yang masih defisit. Ketika neraca ini masih defisit, artinya devisa dari sektor riil (ekspor-impor barang dan jasa) lebih banyak yang keluar dibandingkan dengan yang masuk. 

Situasi ini membuat fundamental mata uang lebih banyak mengandalkan pasokan devisa dari sektor keuangan alias portofilio alias hot money. Seperti namanya, uang panas ini mudah berpindah tangan. Oleh karena itu, sulit mengandalkan hot money sebagai pijakan fundamental kurs karena sifatnya yang mudah keluar-masuk.

Membalikkan transaksi berjalan menjadi surplus (atau berimbang saja) butuh upaya luar biasa dan jangka panjang. Pertama, Indonesia harus melepas ketergantungan ekspor terhadap komoditas yang selama ini punya porsi lebih dari 50%. Ekspor komoditas tidak akan mendatangkan nilai tambah, dan kinerjanya sangat tergantung pada harga internasional. 

Untuk itu, Indonesia mesti menggiatkan kembali industrialisasi. Pertumbuhan industri manufaktur yang masih sulit mencapai di atas pertumbuhan ekonomi perlu dibalik kembali seperti beberapa tahun lalu.

Efektifkah Penggunaan Cadangan Devisa untuk Topang Rupiah?BPS
Langkahnya adalah dengan keberpihakan baik dari sisi fiskal (insentif), struktural (penyederhanaan regulasi dan penyelesaian berbagai hambatan), maupun sektor keuangan (suku bunga, pembiayaan). 

Waktu setahun mungkin tidak cukup untuk membenahi ini semua. Namun jika Indonesia konsisten, maka perbaikan niscaya akan terjadi. 

Kedua adalah membangun sektor logistik nasional sehingga Indonesia tidak lagi perlu tergantung pada perusahaan asing untuk melakukan pengangkutan (freight). Pada kuartal IV-2017, defisit jasa transportasi terutama disebabkan pembayaran jasa freight sebesar US$ 2 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar US$ 1,7 miliar. 

Namun memperbaiki hal ini juga bukan perkara gampang. Butuh waktu, tenaga, dan dana yang tidak kecil karena Indonesia perlu membangun industri perkapalan yang mumpuni.   

Untuk itu, pemerintah sudah merilis Paket Kebijakan XV yang berfokus pada pembenahan logistik. Pemerintah memberlakukan bebas bea masuk untuk 115 jenis suku cadang kapal dan memberi peluang lebih besar kepada perusahaan pelayaran nasional untuk melayani angkutan khusus seperti kapal tanker atau bulker

Target dari kebijakan ini adalah membuka peluang pelayaran nasional melayani angkutan ekspor-impor sekitar US$ 600 juta/tahun, investasi perkapalan sekitar 70-100 unit kapal baru senilai US$ 700 juta.

Bila berbagai pekerjaan rumah ini sudah selesai, maka bisa dijamin nilai tukar rupiah bisa lebih stabil dan cadangan devisa tidak perlu tergerus banyak untuk stabilisasi nilai tukar. Namun kalau kondisinya seperti sekarang, maka penggunaan cadangan devisa untuk intervensi hanya memberi dampak minimal terhadap nilai tukar karena fundamental ekonomi masih rapuh.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article "Dimakan" Rupiah! Cadangan Devisa RI Turun 7 Bulan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular