
Rupiah Menguat di Kurs Acuan dan Pasar Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 April 2018 10:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan bergerak menguat. Berbagai faktor menyebabkan apresiasi dolar AS tertahan.
Pada Senin (30/4/2018), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.877. Rupiah menguat tipis 0,01% dibandingkan akhir pekan lalu.
Sementara di pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 13.865. Posisi terkuat greenback ada di Rp 13.881, sementara terlemahnya di Rp 13.860.
Rupiah berpotensi menguat pada perdagangan hari ini. Mengutip Reuters, analisis Bollinger menyebutkan rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 13.865/US$ dan bahkan bisa sampai ke Rp 13.800/US$.
Tidak hanya rupiah, mata uang Asia pun cenderung menguat terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia di hadapan greenback:
Terdapat beberapa faktor yang mendukung penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah. Pertama adalah data Purchasing Managers Index (PMI) China periode April yang sebesar 51,4. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 51,3. Angka di atas 50 menandakan bahwa sektor manufaktur mencatatkan ekspansi dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Masih positifnya laju ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia tersebut tentu merupakan kabar baik. Hal ini menandakan bahwa dampak dari kebijakan pengenaan bea masuk baja dan aluminium oleh AS sangatlah minim.
Kedua adalah aura perdamaian Korea Selatan dan Korea Utara. Secara teknis, perang di antara kedua negara ini belum berakhir karena yang ada hanya gencatan senjata.
Namun akhir pekan lalu, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae In melakukan pertemuan bersejarah dan berkomitmen mengakhiri perang. Kim juga menegaskan bahwa Pyongyang akan menutup dan melucuti fasilitas ujicoba nuklir mereka pada bulan depan. Dengan begitu, cita-cita denuklirisasi Semenanjung Korea sudah di depan mata.
Pelaku pasar yang awalnya memasukkan faktor ketegangan geopolitik di kawasan ini sebagai salah satu risiko kini bisa menghembuskan nafas lega. Setidaknya satu sentimen negatif sudah punah. Ini memberikan dorongan kepada pasar keuangan Asia untuk mencetak penguatan.
Ketiga adalah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang melandai. Setelah sempat menembus 3%, kini yield obligasi AS tenor 10 tahun bertahan di kisaran 2,9%.
Artinya permintaan terhadap obligasi kembali meningkat. Investor yang awalnya cenderung bermain aman dengan memegang dolar AS kini mulai berani mengambil risiko, meski masih terbatas. Dana pun masuk ke pasar obligasi dan meninggalkan pasar uang, yang membuat greenback melemah.
Setidaknya tiga faktor ini membuat pelaku pasar memasang mode risk on, berani mengambil risiko. Investor mengarahkan perhatiannya ke negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia dan mata uang Asia pun ramai-ramai menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Senin (30/4/2018), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 13.877. Rupiah menguat tipis 0,01% dibandingkan akhir pekan lalu.
Sementara di pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 13.865. Posisi terkuat greenback ada di Rp 13.881, sementara terlemahnya di Rp 13.860.
Tidak hanya rupiah, mata uang Asia pun cenderung menguat terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia di hadapan greenback:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,07 | -0,04 |
Won Korsel | 1.067,50 | +0,85 |
Dolar Taiwan | 29,54 | +0,32 |
Dolar Singapura | 1,32 | +0,10 |
Ringgit Malaysia | 3,92 | -0,03 |
Peso Filipina | 51,67 | +0,57 |
Baht Thailand | 31,47 | +0,38 |
Terdapat beberapa faktor yang mendukung penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah. Pertama adalah data Purchasing Managers Index (PMI) China periode April yang sebesar 51,4. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 51,3. Angka di atas 50 menandakan bahwa sektor manufaktur mencatatkan ekspansi dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Masih positifnya laju ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia tersebut tentu merupakan kabar baik. Hal ini menandakan bahwa dampak dari kebijakan pengenaan bea masuk baja dan aluminium oleh AS sangatlah minim.
Kedua adalah aura perdamaian Korea Selatan dan Korea Utara. Secara teknis, perang di antara kedua negara ini belum berakhir karena yang ada hanya gencatan senjata.
Namun akhir pekan lalu, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae In melakukan pertemuan bersejarah dan berkomitmen mengakhiri perang. Kim juga menegaskan bahwa Pyongyang akan menutup dan melucuti fasilitas ujicoba nuklir mereka pada bulan depan. Dengan begitu, cita-cita denuklirisasi Semenanjung Korea sudah di depan mata.
Pelaku pasar yang awalnya memasukkan faktor ketegangan geopolitik di kawasan ini sebagai salah satu risiko kini bisa menghembuskan nafas lega. Setidaknya satu sentimen negatif sudah punah. Ini memberikan dorongan kepada pasar keuangan Asia untuk mencetak penguatan.
Ketiga adalah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang melandai. Setelah sempat menembus 3%, kini yield obligasi AS tenor 10 tahun bertahan di kisaran 2,9%.
Artinya permintaan terhadap obligasi kembali meningkat. Investor yang awalnya cenderung bermain aman dengan memegang dolar AS kini mulai berani mengambil risiko, meski masih terbatas. Dana pun masuk ke pasar obligasi dan meninggalkan pasar uang, yang membuat greenback melemah.
Setidaknya tiga faktor ini membuat pelaku pasar memasang mode risk on, berani mengambil risiko. Investor mengarahkan perhatiannya ke negara-negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia dan mata uang Asia pun ramai-ramai menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular