Perang Dimulai, Harga Minyak Bakal Meroket US$ 100/Barel

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 April 2018 17:07
Era rendahnya harga minyak akibat berlimpahnya pasokan di dunia nampaknya akan segera berakhir
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Era rendahnya harga minyak akibat berlimpahnya pasokan di dunia nampaknya akan segera berakhir, seiring memanasnya tensi di Timur Tengah. Analis menilai risiko geopolitik tersebut dapat menciptakan dinamika baru bersamaan dengan meningkatnya permintaan minyak global, yang berujung pada melambungnya harga minyak global. 

"Kendala (melimpahnya) pasokan sudah hilang. Isu keamanan telah muncul, dan menghilangkan itu. Banyak hal terjadi secara bersamaan," ungkap Daniel Yergin, Wakil Presiden IHS Markit seperti dilansi CNBC International, Sabtu (14/4/2018).

Pada penutupan akhir pekan, harga minyak jenis brent ditutup di level US$ 72,58/barel, sementara harga lightsweet berada di level US$ 67,39/barel. Keduanya telah meningkat lebih dari 8% dalam sepekan, dan mencatatkan rekor tertinggi sejak akhir 2014.

Perang Dimulai, Harga Minyak Bakal Meroket US$ 100/BarelFoto: Riset CNBC Indonesia


Seperti diketahui, harga minyak pekan ini mendapatkan energi positif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyatakan akan merespon dugaan serangan senjata kimia oleh Presiden Suriah Bashar Al-Assad, yang membunuh puluhan orang di daerah pemberontak akhir pekan lalu.

Perkembangan ini lantas bisa mendorong AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang merupakan pendukung pemerintahan al-Assad. Artinya, sanksi terhadap Iran bisa kembali diterapkan sehingga memukul industri minyak di Negeri Persia.

Selain itu, pemicu lainnya datang dari surplus pasokan minyak yang semakin tipis akibat tingginya permintaan dan adanya pemotongan produksi. Dengan produksi di anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) yang terus dikurangi, maka dunia harus bergantung kepada cadangan untuk memenuhi pertumbuhan permintaan.

Pada laporan bulanannya, OPEC menyampaikan cadangan minyak di negara-negara maju pada Februari 2018 turun 17,4 juta barel dari bulan sebelumnya menjadi 2,85 miliar barel.

OPEC sendiri melaporkan bahwa produsi minyak anggotanya juga turun sebesar 201.000 barel per hari (bph) pada bulan Maret, menjadi di bawah 31,96 juta bph secara rata-rata. Penurunan output banyak disumbang oleh Angola, Venezuela, Algeria, dan Arab Saudi.

Perang Dimulai, Harga Minyak Bakal Meroket US$ 100/BarelFoto: Riset CNBC Indonesia


Sebagai tambahan, potensi meluasnya tensi geopolitik di Timur Tengah juga bisa mengerek harga minyak lebih tinggi, seiring meningkatnya ketegangan antara Iran dan Arab Saudi.

Serangan rudal oleh Houthis, sekutu Iran, yang mengincar warga sipil dan fasilitas minyak Arab Saudi memang tidak berhasil, namun hal tersebut mengindikasikan meningginya suhu konflik antar kedua negara yang bisa pecah kapan saja, menyusul eskalasi keributan di Suriah.

Analis komoditas minyak bahkan menyampaikan kepada CNBC International, bahwa harga minyak dapat meroket hingga menembus level US$100/barel, menyusul perkembangan tensi geopolitik di Timur Tengah.

"Saya tidak berpikir bahwa harga minyak yang dapat menyentuh 3 digit itu mustahil pada tahun ini, jika hal itu (aksi militer) benar-benar terjadi di Timur Tengah," ucap Akap Energy pada CNBC International.

Berdasarkan penelusuran historis dari Tim Riset CNBC Indonesia, serangan senjata kimia juga pernah diluncurkan sebelumnya di Damaskus, yang menewaskan sekitar 1.500 warga sipil. Pemerintahan Al-Assad lantas menyangkal adanya keterlibatan pihaknya pada serangan tersebut.

Namun, sepekan setelah kejadian tersebut, Presiden AS saat itu Barack Obama mengambil kesimpulan bahwa rezim Assad yang meluncurkan serangan kimia tersebut. Presiden Obama juga menegaskan diperlukan "konsekuensi internasional" atas tindakan pemerintahan Al-Assad itu.

"Saya tidak berminat akan penyelesaian konflik secara terbuka di Suriah, tapi kita harus memastikan bahwa saat sebuah negara melanggar norma internasional, seperti senjata kimia yang dapat mengancam kita, mereka harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya" tegas Obama saat itu.

Perkembangan konflik saat itu mampu mengerek harga minyak ke level tertingginya tahun itu di level US$110,53/barel pada awal September 2013. Padahal pada awal tahun masih bergerak di level US$ 85-95/barel.

Saat ini, satu-satunya yang bisa menahan penguatan harga minyak hanyalah melimpahnya cadangan dan produksi minyak mentah dari AS. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan bahwa cadangan minyak AS meningkat sebesar 3,3 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 6 April. Capaian itu jauh melampaui ekspektasi analis yang memprediksi penurunan sebesar 189.000 barel.

Selain itu, produksi minyak mentah mingguan AS juga kembali mencetak rekor baru sebesar 10,53 juta barel/hari pada pekan lalu.

TIM RISET CNBC INDONESIA




(dru) Next Article Baru Saja Naik, Harga Minyak Kok Turun Lagi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular