
Investor Berbalik Buru Dolar AS, Rupiah Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 April 2018 16:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah seharian menguat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berbalik melemah. Investor kembali ke dolar AS untuk mengamankan posisi sambil menunggu rilis data inflasi Negeri Paman Sam.
Pada Kamis (11/4/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 13.757. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Sepanjang hari ini sejatinya rupiah bergerak menguat terhadap greenback. Namun pada sore hari terlihat rupiah mulai berbalik arah.
Penguatan rupiah sebelumnya ditunjang oleh sentimen perang dagang yang semakin mereda. Para pejabat China menyatakan berbagai komentar positif yang melegakan pasar.
Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan Presiden Xi Jinping berkomitmen untuk terus membuka perekonomian Negeri Tirai Bambu. China siap untuk menurunkan berbagai tarif bea masuk. Namun langkah tersebut ditegaskannya tidak bisa dipengaruhi oleh pihak luar.
Tidak hanya dalam hal perdagangan, China pun akan lebih membuka diri untuk investasi asing. Bank Sentral China (PBoC) dalam pernyataan resminya menyebutkan investor asing akan diizinkan untuk masuk ke bisnis wali amanat (trust), finansial leasing, pembiayaan otomotif, dan pembiayaan konsumen pada akhir 2018.
Selain itu, PBoC juga menyatakan juga akan menghapuskan batasan kepemilikan asing untuk perusahaan keuangan dan wealth management. China juga akan meningkatkan batasan kepemilikan asing di perusahaan sekuritas, futures, dan asuransi jiwa yang saat ini ada di 51%.
Perkembangan ini membuat investor optimistis bahwa perekonomian global akan semakin terbuka dan proteksionisme bisa dihindari. Akibatnya, investor berani untuk mengambil risiko dengan mengincar aset-aset di negara berkembang, termasuk yang berbasis rupiah. Ini menyebabkan rupiah terapresiasi.
Namun jelang sore hari, investor mulai menarik diri. Penyebabnya adalah mereka bersiap menyambut rilis data inflasi AS yang akan diumumkan malam ini waktu Indonesia.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS pada Maret sebesar 2,4%. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,2%.
Bila perkiraan ini terwujud, maka tanda-tanda pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam semakin nyata. Akan muncul pemikiran bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan menaikkan suku bunga lebih agresif dari perkiraan sebelumnya.
Ketika suku bunga naik, apalagi secara agresif, maka akan positif terhadap nilai tukar karena diharapkan mampu menjangkar inflasi. Oleh karena itu, dolar AS selalu terapresiasi kala muncul isu soal kenaikan suku bunga.
Mengantisipasi hal ini, investor pun kembali mengarahkan dana ke dolar AS. Permintaan dolar AS yang meningkat membuat mata uang ini terapresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Kamis (11/4/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 13.757. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Sepanjang hari ini sejatinya rupiah bergerak menguat terhadap greenback. Namun pada sore hari terlihat rupiah mulai berbalik arah.
![]() |
Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan Presiden Xi Jinping berkomitmen untuk terus membuka perekonomian Negeri Tirai Bambu. China siap untuk menurunkan berbagai tarif bea masuk. Namun langkah tersebut ditegaskannya tidak bisa dipengaruhi oleh pihak luar.
Tidak hanya dalam hal perdagangan, China pun akan lebih membuka diri untuk investasi asing. Bank Sentral China (PBoC) dalam pernyataan resminya menyebutkan investor asing akan diizinkan untuk masuk ke bisnis wali amanat (trust), finansial leasing, pembiayaan otomotif, dan pembiayaan konsumen pada akhir 2018.
Selain itu, PBoC juga menyatakan juga akan menghapuskan batasan kepemilikan asing untuk perusahaan keuangan dan wealth management. China juga akan meningkatkan batasan kepemilikan asing di perusahaan sekuritas, futures, dan asuransi jiwa yang saat ini ada di 51%.
Perkembangan ini membuat investor optimistis bahwa perekonomian global akan semakin terbuka dan proteksionisme bisa dihindari. Akibatnya, investor berani untuk mengambil risiko dengan mengincar aset-aset di negara berkembang, termasuk yang berbasis rupiah. Ini menyebabkan rupiah terapresiasi.
Namun jelang sore hari, investor mulai menarik diri. Penyebabnya adalah mereka bersiap menyambut rilis data inflasi AS yang akan diumumkan malam ini waktu Indonesia.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi AS pada Maret sebesar 2,4%. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,2%.
Bila perkiraan ini terwujud, maka tanda-tanda pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam semakin nyata. Akan muncul pemikiran bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan akan menaikkan suku bunga lebih agresif dari perkiraan sebelumnya.
Ketika suku bunga naik, apalagi secara agresif, maka akan positif terhadap nilai tukar karena diharapkan mampu menjangkar inflasi. Oleh karena itu, dolar AS selalu terapresiasi kala muncul isu soal kenaikan suku bunga.
Mengantisipasi hal ini, investor pun kembali mengarahkan dana ke dolar AS. Permintaan dolar AS yang meningkat membuat mata uang ini terapresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular