Tepatkah Membeli Saham Bank pada April?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 April 2018 11:48
Sektor jasa keuangan mendapat tekanan yang sangat besar dan anjlok sebesar 2,35%, terdalam jika dibandingkan sembilan sektor saham lainnya.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan pertama April, indeks saham sektor jasa keuangan mendapat tekanan yang sangat besar dan anjlok sebesar 2,35%, terdalam jika dibandingkan sembilan sektor saham lainnya.

Anjloknya sektor tersebut tak lain dipicu penurunan harga saham-saham bank yang masuk dalam kategori BUKU IV: PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 4,32%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 3,33%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,47%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 1,63%.

Namun pada perdagangan hari ini, saham-saham tersebut kompak ditransaksikan menguat: BBNI naik 1,51%, BBRI naik 0,29%, BBCA naik 0,11%, dan BMRI naik 0,33%.

Lantas, tepatkah investor memburu saham-saham perbankan pada bulan April?

Historikal
Jika dilihat secara historis, sektor jasa keuangan tak pernah mencatatkan imbal hasil negatif secara month-over-month (MoM) selama bulan Maret sejak 2008 silam. Namun, pada bulan lalu sektor jasa keuangan terkoreksi hingga 4,47% MoM.

Hal ini lantas merupakan pertanda buruk bagi sektor tersebut. Pasalnya, sektor yang biasanya menjadi primadona sepanjang bulan Maret justru ditransaksikan melemah.

Koreksi yang begitu dalam sepanjang bulan Maret sebenarnya bisa  diartikan bahwa ruang akumulasi menjadi terbuka lebar. Namun sayangnya, sejarah lagi-lagi tak berpihak. Dalam dua kali terakhir indeks sektor jasa keuangan memberikan imbal hasil negatif sepanjang Maret, pada bulan April imbal hasilnya lantas kembali negatif.

Pada Maret 2008, indeks sektor jasa keuangan terkoreksi sebesar 6,52% MoM, diikuti koreksi sebesar 7,05% MoM pada bulan April. Kemudian pada Maret 2005, sektor tersebut melemah sebesar 2,87% MoM, diikuti koreksi sebesar 6,35% MoM satu bulan setelahnya.

Sepanjang bulan lalu, saham-saham sektor jasa keuangan, utamanya perbankan, tertekan oleh isu domestik maupun eksternal. Dari dalam negeri, terpilihnya Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia yang baru terbukti menjadi momok bagi saham-saham perbankan. Investor khawatir sikap Perry yang pro growth akan membuat bank didorong untuk menyalurkan kredit secara lebih deras.

Perry dalam pemaparannya di depan anggota DPR saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan menyampaikan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke kisaran 6% dalam 5 tahun ke depan. Masalahnya, situasi ekonomi saat ini masih penuh ketidakpastian.

Jika penyaluran kredit dipaksa untuk tumbuh kencang maka akan berisiko pada peningkatakan rasio kredit bermasalah seperti yang terjadi pada 2015 dan 2016. Pada akhirnya, profitabilitas dari bank dipastikan akan kembali tergerus.

Dari sisi eksternal, saham-saham perbankan tertekan oleh hasil pertemuan the Federal Reserve dan isu perang dagang. Dari hasil pertemuan the Fed bulan lalu, potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak empat kali sudah benar-benar di depan mata.

Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan dot plot dari pertemuan the Fed bulan Desember lalu dengan dot plot terbaru yang dirilis selepas pertemuan bulan lalu. Pengetatan pada tahun 2019 dan 2020 juga diproyeksikan akan bertambah setidaknya 1 kali dari yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Kemudian, pada bulan lalu Trump juga resmi menabuh genderang perang dagang dengan menandatangani kebijakan bea masuk untuk baja dan aluminium dengan besaran masing-masing sebesar 25% dan 10%, walaupun pada akhirnya beberapa negara seperti Kanada, Meksiko, dan Korea Selatan dikecualikan dari kebijakan tersebut.

Memang, ketika terdapat sentimen negatif yang tak secara spesifik menargetkan sektor-sektor tertentu dalam IHSG seperti normalisasi oleh the Fed dan perang dagang, pelaku pasar cenderung melepas kepemilikannya atas saham-saham berkapitalisasi pasar besar seperti perbankan.

Kinerja Kuartal I

Penguatan harga saham-saham emiten perbankan pada hari ini nampak didorong oleh apresiasi investor terkait langkah Bank Indonesia dalam melakukan intervensi di pasar valuta asing. Hal ini terlihat dari cadangan posisi cadangan devisa per akhir Maret yang turun menjadi US$ 126 miliar, dari yang sebelumnya US$ 128,06 pada akhir Februari. Adanya kepastian dari bank sentral tersebut lantas membuat investor kembali optimis untuk melakukan aksi beli.

Namun, sentimen ini kemungkinan hanya berlangsung sesaat lantaran tak signifikan mempengaruhi fundamental perbankan. Kedepannya, investor akan menantikan rilis laporan keuangan kuartal 1 yang tak lama lagi diumumkan, sebelum mengambil keputusan lebih lanjut.

Jika melihat data-data ekonomi yang dirilis sepanjang tahun, nampaknya tak akan ada kejutan dari rilis laporan keuangan tersebut. Pasalnya, data-data tersebut terlihat relatif lemah.

Dari sisi konsumsi misalnya (lebih dari 50% ekonomi Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga), penjualan barang-barang ritel sepanjang bulan Januari turun sebesar 1,8% secara year-over-year (YoY). Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Hal ini menandakan bahwa pelemahan daya beli masyarakat Indonesia masih terjadi sampai dengan tahun ini.

Kemudian, sepanjang dua bulan pertama tahun ini Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus mencatatkan penurunan. Pada bulan Januari, IKK tercatat sebesar 122,5, turun dari capaian Desember 2017 yang sebesar 126,1. Kemudian, pada bulan Februari nilainya kembali turun menjadi 121,6.

Perlu diketahui bahwa performa sektor perbankan sangat kerat kaitannya dengan performa ekonomi dalam negeri. Ketika ekonomi nampak tak bergairah seperti yang kita lihat saat ini, emiten-emiten perbankan juga akan sulit untuk mencetak performa yang menggembirakan.

Hal ini sebenarnya sudah terlihat dari lemahnya pertumbuhan penyaluran kredit. Per akhir Februari, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh sebesar 8,2% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal pada Februari 2017, pertumbuhannya mencapai 8,6% YoY.

Nampaknya, investor harus berhati-hati jika ingin mengoleksi saham-saham emiten perbankan. Jangan sampai penguatan hari ini membuat investor kalap mata dan mengira kenaikannya bisa terus berlangsung. Pasalnya, data-data yang ada sampai saat ini tak menunjukkan hal tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular