
Sulit Naikkan Bunga Acuan, BI Terpaksa Pakai Cadangan Devisa
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 April 2018 14:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia pada Maret 2018 tercatat US$ S$ 126,03 miliar. Angka tersebut turun US$ 2,02 miliar atau 1,58% dibandingkan bulan sebelumnya. Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa salah satu hal yang membuat cadangan devisa tergerus adalah untuk stabilisasi nilai tukar.
"Penurunan cadangan devisa pada Maret 2018 terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata BI dalam siaran pers yang disampaikan oleh Pjs Kepala Grup Departemen Komunikasi, Junanto Herdiawan.
Sepanjang Maret, rupiah melemah 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara point to point. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap AS pada Maret adalah Rp 13.756/US$, melemah 1,15% dibandingkan rata-rata bulan sebelumnya.
Pelemahan rupiah pada bulan lalu salah satunya disebabkan oleh kebijakan moneter global yang mulai mengetat. Pada 22 Maret, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin. Kenaikan ini sudah diperkirakan sebelumnya, dan sepanjang tahun ini diperkirakan terjadi dua kali lagi.
Namun, muncul pembacaan di pasar bahwa The Fed membuka kemungkinan menaikkan suku bunga lebih agresif, bisa sampai empat kali selama 2018. Ini karena pernyataan Jerome Powell, Gubernur The Fed, yang menyebutkan bahwa bank sentral akan menjaga perekonomian Negeri Paman Sam dari ancaman overheating. Belum lagi The Fed menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari 2,5% menjadi 2,7% pada 2018.
Hal-hal itu membuat investor galau. The Fed memang sepertinya masih sesuai rencana menaikkan suku bunga tiga kali, tetapi kartu empat kali kenaikan juga ada di atas meja.
Setelah AS menaikkan suku bunga, Bank Sentral China (PBoC) kemudian melakukan langkah yang sama dengan kenaikan 5 basis poin. Aura kenaikan suku bunga global semakin terasa.
Sementara BI dalam Rapat Dewan Gubernur bulan lalu masih menahan suku bunga acuan di 4,25%. Sebagian besar pelaku pasar memperkirakan posisi suku bunga acuan tidak akan berubah hingga akhir tahun.
Bagi BI, memang pertaruhannya terlalu besar bila ikut menaikkan suku bunga. Bagaimanapun, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas menjadi ketat sehingga gerak ekonomi menjadi terbatas.
Situasi ini membuat selisih suku bunga antara Indonesia dan AS menyempit, sehingga berinvestasi di Negeri Adidaya menjadi menarik. Arus modal keluar pun terjadi dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan cukup dalam.
Untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, instrumen suku bunga sulit ditempuh dalam situasi sekarang. Oleh karena itu, BI memilih menggunakan pertahanan lapis pertama yaitu cadangan devisa. Penggunaan cadangan devisa untuk upaya stabilisasi membuat nilainya tergerus.
Tanpa intervensi BI, mungkin rupiah bisa melemah lebih dalam. Meski intervensi itu harus dibayar dengan penurunan cadangan devisa.
(aji/aji) Next Article Cadangan Devisa RI Agustus 2022 Tetap US$132,2 Miliar
"Penurunan cadangan devisa pada Maret 2018 terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global," kata BI dalam siaran pers yang disampaikan oleh Pjs Kepala Grup Departemen Komunikasi, Junanto Herdiawan.
Sepanjang Maret, rupiah melemah 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara point to point. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap AS pada Maret adalah Rp 13.756/US$, melemah 1,15% dibandingkan rata-rata bulan sebelumnya.
![]() |
Namun, muncul pembacaan di pasar bahwa The Fed membuka kemungkinan menaikkan suku bunga lebih agresif, bisa sampai empat kali selama 2018. Ini karena pernyataan Jerome Powell, Gubernur The Fed, yang menyebutkan bahwa bank sentral akan menjaga perekonomian Negeri Paman Sam dari ancaman overheating. Belum lagi The Fed menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari 2,5% menjadi 2,7% pada 2018.
Hal-hal itu membuat investor galau. The Fed memang sepertinya masih sesuai rencana menaikkan suku bunga tiga kali, tetapi kartu empat kali kenaikan juga ada di atas meja.
Setelah AS menaikkan suku bunga, Bank Sentral China (PBoC) kemudian melakukan langkah yang sama dengan kenaikan 5 basis poin. Aura kenaikan suku bunga global semakin terasa.
Sementara BI dalam Rapat Dewan Gubernur bulan lalu masih menahan suku bunga acuan di 4,25%. Sebagian besar pelaku pasar memperkirakan posisi suku bunga acuan tidak akan berubah hingga akhir tahun.
Bagi BI, memang pertaruhannya terlalu besar bila ikut menaikkan suku bunga. Bagaimanapun, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan suku bunga akan membuat likuiditas menjadi ketat sehingga gerak ekonomi menjadi terbatas.
Situasi ini membuat selisih suku bunga antara Indonesia dan AS menyempit, sehingga berinvestasi di Negeri Adidaya menjadi menarik. Arus modal keluar pun terjadi dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan cukup dalam.
Untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, instrumen suku bunga sulit ditempuh dalam situasi sekarang. Oleh karena itu, BI memilih menggunakan pertahanan lapis pertama yaitu cadangan devisa. Penggunaan cadangan devisa untuk upaya stabilisasi membuat nilainya tergerus.
Tanpa intervensi BI, mungkin rupiah bisa melemah lebih dalam. Meski intervensi itu harus dibayar dengan penurunan cadangan devisa.
(aji/aji) Next Article Cadangan Devisa RI Agustus 2022 Tetap US$132,2 Miliar
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular