
Kinerja IHSG Kuartal I Salah Satu yang Terburuk di Asia
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 April 2018 15:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar saham domestik bursa saham tercatat lebih buruk dibandingkan bursa-bursa saham tetangga yang membukukan kinerja positif pada kuartal I 2018. Imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada periode tersebut tercatat terkoreksi 2,62%.
Bursa Malaysia membukukan kenaikan hingga 3,71%, bursa Thailand menguat 1,29% dan bursa Singapura naik 0,74% pada periode yang sama.
Namun dibandingkan beberapa bursa saham beberapa bursa Asia lainnya, kinerja IHSG tercatat lebih baik. Bursa Filipina saham anjlok 6,76%, disusul Jepang dan China yang masing-masing terkoreksi sebesar 5,76% dan 4,18%.
Ambil Untung
Koreksi IHSG sepanjang kuartal I dipicu oleh aksi ambil untung, setelah pada 2016 IHSG sudah meroket sebesar 19,99%, di mana ini merupakan yang terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Filipina. Aksi ambil untung lantas menjadi rawan dilakukan kapan saja.
Apalagi, secara valuasi IHSG memang dapat dikatakan sudah mahal. Sudah terkoreksi sebesar 2,62% pun, price to earnings ratio (PE) IHSG per akhir perdagangan bulan lalu (29/3/2018) masih sebesar 17,42 kali. Sebagai perbandingan, Straits Times punya P/E sebesar 11,4 kali, KLCI 16,82 kali, SETi 16,81 kali, Nikkei 15,48 kali, Hang Seng 12,34 kali, SSEC 14,16 kali, dan Kospi 12,1 kali. Akibatnya, investor mengalihkan dananya ke bursa saham dengan valuasi yang masih lebih murah.
External dan Internal
Selain dari aksi ambil untung, sentimen dari luar dan dalam negeri juga belum mendukung penguatan IHSG lebih lanjut. Semenjak akhir Januari silam, The Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) menjadi perhatian pelaku pasar, seiring dengan ketakutan atas kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dari perkiraan. Pelaku pasar pada akhirnya dipaksa bermain defensif dengan meninggalkan aset-aset beresiko seperti saham.
Kedua, mencuatnya potensi perang dagang dunia pasca Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan bea masuk atas baja dan aluminium masing-masing sebesar 25% dan 10%. Langkah ini lantas mendapat kecaman dari berbagai negara yang mengancam akan memberlakukan kebijakan serupa bagi AS.
Perkembangan terakhir, China pada hari ini (2/4/2018) telah resmi membalas AS dengan mengenakan bea masuk terhadap 128 barang impor dari Amerika Serikat (AS) senilai US$ 3 miliar, termasuk daging babi dan buah-buahan.
Kemudian, tensi geopolitik dunia juga memanas pasca ratusan diplomat Rusia diusir oleh berbagai negara terkait dengan dugaan keterlibatan Rusia dalam pembunuhan mantan mata-matanya di Inggris menggunakan racun. Perkembangan terakhir, Rusia sudah mengumumkan aksi balasan dengan mengusir sebanyak 60 diplomat AS dari negaranya serta menutup konsulat AS di St. Petersburg.
Dari dalam negeri, target pertumbuhan ekonomi yang begitu ambisius di angka 5,4% nampak kian mustahil untuk dicapai. Pasalnya, daya beli masyarakat nampak masih berada dalam tekanan. Padahal, lebih dari 50% ekonomi Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga.
Masih lemahnya daya beli masyarakat terlihat dari penjualan barang-barang ritel yang turun sebesar 1,8% YoY pada Januari 2018. Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman & tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Lebih lanjut, Indeks Keyakinan Konsumen pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada 2 komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis bulan Januari. Minat masyarakat untuk berbelanja lantas dapat ikut melemah.
Terpilihnya Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia yang baru terbukti menjadi momok bagi harga saham emiten-emiten perbankan. Pelaku pasar takut kebijakan yang diambil Perry nantinya dapat menekan tingkat profitabilitas bank dan bisa memicu kenaikan kredit macet jika dipaksa menyalurkan kredit dalam jumlah besar. Pasalnya, dalam pemaparan saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan Perry mengungkapnya rencananya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Bursa Malaysia membukukan kenaikan hingga 3,71%, bursa Thailand menguat 1,29% dan bursa Singapura naik 0,74% pada periode yang sama.
Namun dibandingkan beberapa bursa saham beberapa bursa Asia lainnya, kinerja IHSG tercatat lebih baik. Bursa Filipina saham anjlok 6,76%, disusul Jepang dan China yang masing-masing terkoreksi sebesar 5,76% dan 4,18%.
![]() |
Ambil Untung
Koreksi IHSG sepanjang kuartal I dipicu oleh aksi ambil untung, setelah pada 2016 IHSG sudah meroket sebesar 19,99%, di mana ini merupakan yang terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Filipina. Aksi ambil untung lantas menjadi rawan dilakukan kapan saja.
Apalagi, secara valuasi IHSG memang dapat dikatakan sudah mahal. Sudah terkoreksi sebesar 2,62% pun, price to earnings ratio (PE) IHSG per akhir perdagangan bulan lalu (29/3/2018) masih sebesar 17,42 kali. Sebagai perbandingan, Straits Times punya P/E sebesar 11,4 kali, KLCI 16,82 kali, SETi 16,81 kali, Nikkei 15,48 kali, Hang Seng 12,34 kali, SSEC 14,16 kali, dan Kospi 12,1 kali. Akibatnya, investor mengalihkan dananya ke bursa saham dengan valuasi yang masih lebih murah.
External dan Internal
Selain dari aksi ambil untung, sentimen dari luar dan dalam negeri juga belum mendukung penguatan IHSG lebih lanjut. Semenjak akhir Januari silam, The Federal Reserve selaku bank sentral Amerika Serikat (AS) menjadi perhatian pelaku pasar, seiring dengan ketakutan atas kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dari perkiraan. Pelaku pasar pada akhirnya dipaksa bermain defensif dengan meninggalkan aset-aset beresiko seperti saham.
Kedua, mencuatnya potensi perang dagang dunia pasca Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan bea masuk atas baja dan aluminium masing-masing sebesar 25% dan 10%. Langkah ini lantas mendapat kecaman dari berbagai negara yang mengancam akan memberlakukan kebijakan serupa bagi AS.
Perkembangan terakhir, China pada hari ini (2/4/2018) telah resmi membalas AS dengan mengenakan bea masuk terhadap 128 barang impor dari Amerika Serikat (AS) senilai US$ 3 miliar, termasuk daging babi dan buah-buahan.
Kemudian, tensi geopolitik dunia juga memanas pasca ratusan diplomat Rusia diusir oleh berbagai negara terkait dengan dugaan keterlibatan Rusia dalam pembunuhan mantan mata-matanya di Inggris menggunakan racun. Perkembangan terakhir, Rusia sudah mengumumkan aksi balasan dengan mengusir sebanyak 60 diplomat AS dari negaranya serta menutup konsulat AS di St. Petersburg.
Dari dalam negeri, target pertumbuhan ekonomi yang begitu ambisius di angka 5,4% nampak kian mustahil untuk dicapai. Pasalnya, daya beli masyarakat nampak masih berada dalam tekanan. Padahal, lebih dari 50% ekonomi Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga.
Masih lemahnya daya beli masyarakat terlihat dari penjualan barang-barang ritel yang turun sebesar 1,8% YoY pada Januari 2018. Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman & tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Lebih lanjut, Indeks Keyakinan Konsumen pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada 2 komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis bulan Januari. Minat masyarakat untuk berbelanja lantas dapat ikut melemah.
Terpilihnya Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia yang baru terbukti menjadi momok bagi harga saham emiten-emiten perbankan. Pelaku pasar takut kebijakan yang diambil Perry nantinya dapat menekan tingkat profitabilitas bank dan bisa memicu kenaikan kredit macet jika dipaksa menyalurkan kredit dalam jumlah besar. Pasalnya, dalam pemaparan saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan Perry mengungkapnya rencananya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega
Most Popular