Antara Investor, Perry Warjiyo dan Sentimen Negatif

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 March 2018 16:49
Bagaimana tidak, sepanjang pekan ini tidak ada satupun saham saham bank BUKU IV yang diperdagangkan menguat secara mingguan.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi pekan yang kelam bagi saham-saham sektor jasa keuangan, terumata yang berada dalam sub-sektor perbankan. Bagaimana tidak, sepanjang pekan ini tidak ada satupun saham saham bank BUKU IV yang diperdagangkan menguat secara mingguan.

Simak kinerja saham bank dalam empat hari perdaagang pekan ini. Harga saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) terkoreksi 4,66%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 4,1%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melamah 2,1%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,57%, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) stagnan atau tidak mencatatkan perubahan harga.

Terpilihnya, Perry Warjiyo sebagai Gubernur Bank Indonesia yang baru, sempat menjadi salah satu sentiment negative yang membuat saham-saham perbankan dilepas pelaku pasar. Mereka khawatir sikap Perry yang pro growth akan menguarangi profitabilitas bank-bank karena dipaksa untuk menggenjot pertumbuhan kredit dengan bunga rendah.

Perru dalam pemaparannya di depan anggota DPR saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan menyampaikan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke kisaran 6% dalam 5 tahun ke depan.

Namun situasi ekonomi saat ini masih penuh ketidakpastian. Jika kredit dipaksa untuk tumbuh akan berisiko pada peningkatakan rasio kredit bermasalah seperti yang terjadi pada 2015 dan 2016.

Lantas, bisakah bank sentral benar-benar memaksa perbankan menyalurkan kredit lebih kencang lagi seperti yang ditakutkan para investor?

Suku Bunga Acuan
Instrumen utama yang dimiliki bank sentral dalam memacu pertumbuhan kredit adalah melalui penurunan suku bunga acuan atau 7-days reverse repo rate. Kala bank sentral menurunkan suku bunga acuannya, suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) akan ikut turun dan ditransmisikan kepada suku bunga dana pihak ketiga yang lebih murah. Pada akhirnya, ruang bank untuk melonggarkan suku bunga kredit dan memperbesar penyalurannya menjadi terbuka.

Masalahnya bank sentral sudah kelewat rajin memangkas suku bunga acuan dalam dua tahun terakhir. Sepanjang tahun 2016, BI memangkas suku bunga acuan sebanyak 6 kali, masing-masing sebesar 25bps.

Jika ditotal, pemangkasan pada tahun tersebut mencapai 150bps. Setahun berikutnya, BI kembali memangkas suku bunga acuan sebanyak 2 kali dengan besaran yang sama yaitu masing-masing 25bps. Kini, 7-days reverse repo rate bertengger di level 4,25%.

Dengan menggunakan asumsi bahwa inflasi tahun ini sesuai dengan target pemerintah yang sebesar 3,5%, maka selisih antara suku bunga acuan dengan inflasi hanya sebesar 75bps alias tak sampai 1%.

Ruang untuk kembali melakukan pelonggaran pun menjadi sangat terbatas, bahkan mungkin sudah tak ada lagi. Terlebih, bank-bank sentral di negara maju seperti AS dan Inggris sedang melakukan normalisasi atas suku bunga acuannya, diikuti juga oleh negara-negara tetangga seperti China dan Malaysia. Jika BI terus memaksakan penurunan suku bunga acuan, maka yang terjadi adalah aliran modal keluar ke negara-negara yang suku bunganya lebih menarik.

Kebijakan Makroprudensial
Amunisi lain yang dapat digunakan oleh bank sentral adalah kebijakan makroprudensial, yaitu dengan melonggarkan batasan uang muka minimum bagi kredit properti dan kendaraan bermotor.

Mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang berada dalam usia produktif, maka kebijakan tersebut dapat membantu bank dalam menggelontorkan kredit-kredit di sektor tersebut.

Namun, Kedua kebijakan yang disebutkan diatas yaitu pelongaran suku bunga acuan dan kebijakan makroprudensial tidak bisa serta-merta mendorong bank untuk mendorong penyaluran kredit. Pasalnya, keputusan pemberian kredit tetap berada di tangan masing-masing perbankan.

Walaupun suku bunga acuan diturunkan dan kebijakan makroprudensial dilonggarkan, bank bisa saja memilih untuk menahan menyalurkan kredit dengan berbagai pertimbangan yang mereka miliki.

Pelonggaran LFR
Sejatinya, kebijkan yang paling efektif guna mendorong penyaluran kredit adalah melalui peningkatan batas bawah Loan to Funding Ratio (LFR). Sebagai informasi, LFR merupakan rasio penyaluran kredit kepada pihak ketiga terhadap dana pihak ketiga ditambah penerbitan obligasi oleh bank.

BI memiliki wewenang untuk mengatur batas bawah dan atas LFR guna memastikan penyaluran kredit berlangsung optimal, namun tanpa membahayakan sistem keuangan tanah air. Saat ini, batas bawah LFR dipatok di level 80% dan batas atas di level 92%.

Mengutip Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per akhir Januari lalu rasio LFR perbankan tanah air sudah berada di level yang cukup tinggi yaitu 86,9%. Rasanya tak mungkin jika BI bergerak super agresif dengan menaikkan batas bawah LFR menjadi lebih tinggi dari rasio LFR yang sudah dicatatkan perbankan saat ini, hanya demi mengejar penyaluran kredit yang lebih tinggi. BI harusnya sadar bahwa kebijakan ekstra longgar tersebut sama saja dengan bunuh diri.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelaku pasar tak rasional dalam menanggapi terpilihnya Perry Warjiyo sebagai nahkoda baru bank sentral. Walaupun Perry menyuarakan ambisinya guna mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah 6%, fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa amunisi bank sentral dalam mendorong penyaluran kredit sudah sangat terbatas. Nampaknya, kebijakan BI dibawah asuhan Perry tak akan jauh berbeda dengan yang kita lihat saat ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Saham-saham Bank Buku VI Jadi Penahan Koreksi IHSG

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular