
Volatilitas Meninggi, Rupiah Bisa Terus Tertekan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 March 2018 16:35

Jakarta,CNBC Indonesia - Agus DW Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia (BI), menyebut nilai tukar rupiah akan bergerak dengan volatilitas tinggi pada Mei. Pasalnya, ada kemungkinan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan pada Juni dan ada kemungkinan kenaikan suku bunga menjadi empat kali sepanjang 2018.
Hari ini, Rabu (28/3/2018), rupiah bergerak sedikit volatil cenderung melemah dan pada pukul 15:30 WIB berada di posisi Rp 13.762/US$. Melemah 0,15% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Sepertinya tekanan terhadap rupiah belum akan mereda. Bahkan kemungkinan bisa berlanjut hingga Mei.
"Kalau ada tekanan lebih jauh itu terjadi di Mei 2018, yang diproyeksikan The Fed betul-betul menaikkan. Mei terjadi volatilitas dan ini bagian yang harus dijalani. Kami juga melihat ada kemungkinan keempat (kenaikan Federal Funds Rate)," ungkap Agus.
Agus menyebut Mei karena kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga pada Juni. Secara historis, memang tekanan di pasar muncul sejak sebulan sebelum kenaikan.
Mengutip proyeksi CME Group (yang mengembangkan instrumen Federal Funds Futures), probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin pada Juni mencapai 74%. Sementara kemungkinan kenaikan 50 basis poin adalah 1,6%, dan kemungkinan The Fed menahan suku bunga berada di 24,5%.
Mengutip data Reuters, volatilitas rupiah saat ini relatif rendah yaitu 2,95%. Namun pada Mei, atau dua bulan ke depan, volatilitasnya memang naik menjadi 5,175%.
Peningkatan volatilitas juga dialami oleh mata uang lain. Misalnya ringgit Malaysia, yang saat ini memiliki volatiltas 4,6% dan meningkat jadi 5,588% pada Mei. Volatiltas ringgit bahkan lebih parah dibandingkan rupiah.
Kemudian baht Thailand, yang saat ini volatilitasnya 3,6%. Dalam dua bulan ke depan, volatilitas mata uang Negeri Gajah Putih naik menjadi 4,65%.
Kenaikan Federal Funds Rate tiga kali selama 2018 sudah masuk dalam perhitungan pelaku pasar, sehingga dampaknya akan minimal. Namun bila sampai ada kenaikan yang keempat, itu belum ada dalam kalkulasi banyak pelaku pasar. Artinya akan ada guncangan di pasar karena muncul ketidakpastian baru.
Ketika ada ketidakpastian, dan itu besar, biasanya investor langsung mencari selamat masing-masing. Mereka akan mencari instrumen yang dianggap aman (safe haven) seperti emas. Saat investor meninggalkan pasar keuangan, maka nilai tukar akan mengalami tekanan.
Di Indonesia, pasar keuangan masih labil. Sepanjang 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah terkoreksi 3,38%. Nilai jual bersih investor asing pun mencapai kisaran Rp 23 triliun. Ini salah satu faktor yang membuat rupiah bergerak melemah sejak awal tahun.
Bila The Fed benar-benar menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali, maka tekanan jual di pasar keuangan akan semakin masif. Tanpa intervensi BI di pasar, sepertinya rupiah akan melemah cukup tajam.
Tidak hanya The Fed, pasar pun memperkirakan Bank Sentral Inggris (BoE) akan menaikkan suku bunga pada pertemuan Mei. Ini bisa memicu perpindahan arus modal ke Negeri Ratu Elizabeth.
Belum lagi pada Mei biasanya perusahaan-perusahaan asing di Indonesia membutuhkan valas untuk pembayaran dividen ke prinsipalnya di luar negeri jelang akhir kuartal II. Setiap jelang akhir kuartal kebutuhan valas korporasi memang meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Hari ini, Rabu (28/3/2018), rupiah bergerak sedikit volatil cenderung melemah dan pada pukul 15:30 WIB berada di posisi Rp 13.762/US$. Melemah 0,15% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
![]() |
Agus menyebut Mei karena kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga pada Juni. Secara historis, memang tekanan di pasar muncul sejak sebulan sebelum kenaikan.
Mengutip proyeksi CME Group (yang mengembangkan instrumen Federal Funds Futures), probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin pada Juni mencapai 74%. Sementara kemungkinan kenaikan 50 basis poin adalah 1,6%, dan kemungkinan The Fed menahan suku bunga berada di 24,5%.
Mengutip data Reuters, volatilitas rupiah saat ini relatif rendah yaitu 2,95%. Namun pada Mei, atau dua bulan ke depan, volatilitasnya memang naik menjadi 5,175%.
Peningkatan volatilitas juga dialami oleh mata uang lain. Misalnya ringgit Malaysia, yang saat ini memiliki volatiltas 4,6% dan meningkat jadi 5,588% pada Mei. Volatiltas ringgit bahkan lebih parah dibandingkan rupiah.
Kemudian baht Thailand, yang saat ini volatilitasnya 3,6%. Dalam dua bulan ke depan, volatilitas mata uang Negeri Gajah Putih naik menjadi 4,65%.
![]() |
Ketika ada ketidakpastian, dan itu besar, biasanya investor langsung mencari selamat masing-masing. Mereka akan mencari instrumen yang dianggap aman (safe haven) seperti emas. Saat investor meninggalkan pasar keuangan, maka nilai tukar akan mengalami tekanan.
Di Indonesia, pasar keuangan masih labil. Sepanjang 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah terkoreksi 3,38%. Nilai jual bersih investor asing pun mencapai kisaran Rp 23 triliun. Ini salah satu faktor yang membuat rupiah bergerak melemah sejak awal tahun.
Bila The Fed benar-benar menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali, maka tekanan jual di pasar keuangan akan semakin masif. Tanpa intervensi BI di pasar, sepertinya rupiah akan melemah cukup tajam.
Tidak hanya The Fed, pasar pun memperkirakan Bank Sentral Inggris (BoE) akan menaikkan suku bunga pada pertemuan Mei. Ini bisa memicu perpindahan arus modal ke Negeri Ratu Elizabeth.
Belum lagi pada Mei biasanya perusahaan-perusahaan asing di Indonesia membutuhkan valas untuk pembayaran dividen ke prinsipalnya di luar negeri jelang akhir kuartal II. Setiap jelang akhir kuartal kebutuhan valas korporasi memang meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular