
Kenapa Investor Asing Keluar dari Pasar Saham Domestik?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 March 2018 09:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan jual investor asing tak kunjung reda, dimana kemarin investor asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp 854,01 miliar. Jika ditotal, sepanjang 2018 jual bersih investor asing telah mencapai Rp 22,8 triliun.
Investor asing kini seakan tak peduli dengan naik-turunnya IHSG. Mau naik ataupun turun, aksi jual tetap saja dilakukan. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan: kenapa investor asing begitu menghindari bursa saham dalam negeri?
Terjadi juga tahun lalu
Aksi jual investor asing tak hanya terjadi pada tahun ini. Sepanjang tahun lalu, IHSG berlari begitu kencang dengan membukukan kenaikan sebesar 19,99%. Namun tetap saja, aliran modal keluar asing di pasar saham senilai Rp 39,9 triliun tak berhasil dibendung.
Investor asing nampak kecewa lantaran perekonomian Indonesia tumbuh dalam tingkatan yang rendah. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017, ekonomi dunia diproyeksikan tumbuh sebesar 3,7% oleh International Monetary Fund (IMF) atau lebih tinggi 0,5% dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%.
Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%). Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan. Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun lalu, naik hingga 0,7% dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun lalu, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.
Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN.
Apa mau dikata, ekonomi Indonesia tak sanggup dipacu begitu kencang. Penyebabnya apalagi kalau bukan tekanan terhadap daya beli sebagai akibat dari penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Tekanan terhadap daya beli masyarakat Indonesia terlihat dari pertumbuhan penjualan barang-barang ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia. Sepanjang 2017, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak pernah melampaui capaian periode yang sama tahun 2016.
Sebagai catatan, konsumsi rumah tangga merupakan elemen penting bagi ekonomi Indonesia. Pasalnya, sebesar 56% ekonomi Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Jika daya beli tertekan dan konsumsi masyarakat melambat, tentu akan sulit bagi pemerintah untuk dapat merealisasikan target pertumbuhan ekonominya.
Investor yang pada awalnya semangat melakukan aksi beli akhirnya dipaksa angkat kaki dari pasar saham tanah air, pasca melihat kenyataan bahwa ekonomi Indonesia sedang berada dalam periode konsolidasi dan sulit untuk mencapai target yang terlampau ambisius.
Berpotensi Terulang
Memasuki 2018, situasi yang sama berpotensi terulang lagi. Pada tahun ini, IMF memproyeksikan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,9%, hanya naik 0,2% dari proyeksi capaian tahun 2017 yang sebesar 3,7%. Namun begitu, pemerintah tak berhenti memasang target yang ambisius.
Dalam APBN tahun ini, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi di angka 5,4%.
Melihat perkembangan sejauh ini, rasanya sulit untuk merealisasikan target tersebut. Penjualan barang-barang ritel turun sebesar 1,8% YoY pada Januari 2018.
Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Hal ini menandakan bahwa tekanan terhadap daya beli masyarakat Indonesia masih terjadi sampai dengan tahun ini.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman & tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Kemudian, Indeks Keyakinan Konsumen pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada 2 komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis bulan Januari. Minat masyarakat untuk berbelanja lantas dapat ikut melemah.
Masih buruknya propspek konsumsi rumah tangga (sekaligus ekonomi) Indonesia inilah yang lantas menyebabkan investor asing ramai-ramai melepas kepemilikannya atas saham-saham di Indonesia. Mereka tak ingin lagi mengalami sakit hati seperti pada tahun lalu, kala iming-iming pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi tak berhasil dicapai.
Saham-saham yang dilepas juga yang terkait dengan masalah daya beli, yakni saham-saham barang konsumsi. Sepanjang 2017, saham-saham sektor barang konsumsi dengan kapitalisasi pasar besar kompak dilepas oleh investor asing: PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk/HMSP dilepas Rp 2,11 triliun, PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR dilepas Rp 2,1 triliun, PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF dilepas Rp 645,38 miliar, dan PT Gudang garam Tbk/GGRM dilepas Rp 564,7 miliar.
TIM RIEST CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Investor asing kini seakan tak peduli dengan naik-turunnya IHSG. Mau naik ataupun turun, aksi jual tetap saja dilakukan. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan: kenapa investor asing begitu menghindari bursa saham dalam negeri?
Terjadi juga tahun lalu
Aksi jual investor asing tak hanya terjadi pada tahun ini. Sepanjang tahun lalu, IHSG berlari begitu kencang dengan membukukan kenaikan sebesar 19,99%. Namun tetap saja, aliran modal keluar asing di pasar saham senilai Rp 39,9 triliun tak berhasil dibendung.
Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%). Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan. Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun lalu, naik hingga 0,7% dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun lalu, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.
Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN.
Apa mau dikata, ekonomi Indonesia tak sanggup dipacu begitu kencang. Penyebabnya apalagi kalau bukan tekanan terhadap daya beli sebagai akibat dari penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Tekanan terhadap daya beli masyarakat Indonesia terlihat dari pertumbuhan penjualan barang-barang ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia. Sepanjang 2017, pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak pernah melampaui capaian periode yang sama tahun 2016.
Sebagai catatan, konsumsi rumah tangga merupakan elemen penting bagi ekonomi Indonesia. Pasalnya, sebesar 56% ekonomi Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Jika daya beli tertekan dan konsumsi masyarakat melambat, tentu akan sulit bagi pemerintah untuk dapat merealisasikan target pertumbuhan ekonominya.
Investor yang pada awalnya semangat melakukan aksi beli akhirnya dipaksa angkat kaki dari pasar saham tanah air, pasca melihat kenyataan bahwa ekonomi Indonesia sedang berada dalam periode konsolidasi dan sulit untuk mencapai target yang terlampau ambisius.
Berpotensi Terulang
Memasuki 2018, situasi yang sama berpotensi terulang lagi. Pada tahun ini, IMF memproyeksikan ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,9%, hanya naik 0,2% dari proyeksi capaian tahun 2017 yang sebesar 3,7%. Namun begitu, pemerintah tak berhenti memasang target yang ambisius.
Dalam APBN tahun ini, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi di angka 5,4%.
Melihat perkembangan sejauh ini, rasanya sulit untuk merealisasikan target tersebut. Penjualan barang-barang ritel turun sebesar 1,8% YoY pada Januari 2018.
Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Hal ini menandakan bahwa tekanan terhadap daya beli masyarakat Indonesia masih terjadi sampai dengan tahun ini.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman & tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Kemudian, Indeks Keyakinan Konsumen pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada 2 komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis bulan Januari. Minat masyarakat untuk berbelanja lantas dapat ikut melemah.
Masih buruknya propspek konsumsi rumah tangga (sekaligus ekonomi) Indonesia inilah yang lantas menyebabkan investor asing ramai-ramai melepas kepemilikannya atas saham-saham di Indonesia. Mereka tak ingin lagi mengalami sakit hati seperti pada tahun lalu, kala iming-iming pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi tak berhasil dicapai.
Saham-saham yang dilepas juga yang terkait dengan masalah daya beli, yakni saham-saham barang konsumsi. Sepanjang 2017, saham-saham sektor barang konsumsi dengan kapitalisasi pasar besar kompak dilepas oleh investor asing: PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk/HMSP dilepas Rp 2,11 triliun, PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR dilepas Rp 2,1 triliun, PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF dilepas Rp 645,38 miliar, dan PT Gudang garam Tbk/GGRM dilepas Rp 564,7 miliar.
TIM RIEST CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular