Menakar Pelemahan Rupiah Dibanding Mata Uang Negara Lain

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 March 2018 16:43
Sepanjang tahun ini, rupiah justru terkoreksi 1,3% terhadap dolar AS.
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar AS bergerak defensif sepanjang tahun. Sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (16/3/2018), indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya turun sebesar 2,05%.

Indeks dolar AS sempat mencapai titik terendahnya pada 15 Februari silam. Kala itu, penurunannya mencapai 3,8%. Semenjak itu, dolar AS perlahan mulai bangkit dan menipiskan kekalahannya.

Terlepas dari dolar AS yang masih defensif pada tahun ini, nyatanya tak semua negara mampu memanfaatkan momentum tersebut, termasuk Indonesia. Sepanjang tahun ini, rupiah justru terkoreksi 1,3% terhadap dolar AS. Koreksi ini patut menjadi perhatian khusus oleh pemerintah dan pelaku pasar.

Pasalnya, beberapa mata uang negara tetangga mampu menguat terhadap dolar AS. Jika dibandingkan dengan mata uang negara tetangga yang juga melemah, depresiasi rupiah merupakan yang ketiga terbesar, setelah Korea Won dan Hong Kong Dolar.

Menakar Pelemahan Rupiah Dibanding Mata Uang Negara TetanggaFoto: Riset CNBC Indonesia


Ada dua faktor utama yang menyebabkan Rupiah terdepresiasi cukup dalam terhadap dolar AS, yaitu defisit neraca perdagangan dan aksi jual bersih investor asing di pasar modal.

Masalah klasik

Terhitung sejak 3 bulan terakhir (Desember-Februari), neraca perdagangan Indonesia terus-menerus mencatatkan defisit. Pada Desember 2017, nilainya tercatat sebesar US$ 270 juta. Memasuki Januari 2018, nilainya lantas membengkak menjadi US$ 680 juta sebelum kemudian menyempit menjadi US$ 120 juta pada bulan lalu.

Nampak, masalah klasik yang menjadi momok ekonomi Indonesia sudah kembali. Ketika laju perekonomian dalam negeri mulai tancap gas, impor melonjak lantaran kebutuhan bahan baku dan bahan modal tak bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. Akibatnya, neraca perdagangan menjadi defisit sekaligus memperlebar defisit transaksi berjalan.

Situasi ini sempat terjadi pada tahun 2013. Kala itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,78%, disokong oleh kenaikan harga komoditas. Namun, derasnya impor membuat defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada kuartal 4 yaitu senilai US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari PDB. Defisit tersebut menandakan lebih banyak dolar yang mengalir ke luar negeri ketimbang ke dalam negeri.

Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp 9.800. Namun, pada akhir tahun nilai tukar rupiah nyaris mencapai Rp 12.200/US$.

Indonesia Diragukan Investor Asing

Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia bergantung terhadap 'hot money' di pasar modal guna menjaga nilai tukar tetap stabil. Pada tahun 2015, ketika investor asing berbondong-bondong meninggalkan pasar saham dan obligasi Indonesia, rupiah terkoreksi sebesar sebesar 11,35% terhadap dolar AS (dari Rp 12.380/US$ menjadi Rp 13.785/US$).

Hal yang sama kini terjadi lagi. Belum juga 3 bulan dilalui, investor asing telah mencatatkan jual bersih sebesar Rp 17,3 triliun di pasar saham sepanjang 2018. Sebagai perbandingan, pada tahun 2015 lalu jual bersih investor asing di pasar saham hanya sebesar Rp 22,6 triliun.

Aksi jual investor asing tak hanya terjadi di pasar saham, namun juga di pasar obligasi. Mengutip data yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing atas Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan per 15 Maret lalu adalah sebesar Rp 833,59 triliun. Padahal per akhir tahun 2017, nilainya masih sebesar Rp 836,15 triliun. Artinya, sepanjang tahun ini investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 2,56 triliun di pasar obligasi.

Salah satu hal yang membuat asing begitu gencar melakukan aksi jual di pasar modal Indonesia terutama pasar saham adalah keputusan pemerintah yang menetapkan batas atas harga batu bara untuk kepentingan penyediaan listrik. Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menciptakan ketidakpastian melalui kebijakan tersebut. Akibatnya, pelaku pasar secara besar-besaran meninggalkan sektor pertambangan, khususnya batu bara.

"Ada dua hal, menimbulkan uncertainty, yang kedua adalah memberikan impresi secara implisit adanya intervensi ke pasar. Orang kalau jauh dari Indonesia buat invest butuh terbang 24 jam yang paling ga suka adalah adanya uncertainty sesuatu yang mendadak," ujar Tito di gedung BEI, Kamis (8/3/2018).

Penanaman Modal Asing Harus Dikebut

Melihat defisit neraca perdagangan arus modal keluar sulit untuk diredam, penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) sebenarnya dapat menjadi opsi Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar sekaligus membangun amunisi devisa.

Masalahnya, laju FDI dalam beberapa tahun terakhir dapat dikatakan mengecewakan. Pada tahun 2015, pertumbuhan FDI mencapai 19,2% jika dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya (dari Rp 307 triliun menjadi Rp 365,9 triliun). Namun, pada dua tahun berikutnya (2016 dan 2017), pertumbuhannya melandai menjadi 8,4% dan 8,5%.

Pemerintah nampak masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam menarik investasi asing di sektor riil. Pemangkasan perizinan yang selama ini digembar-gemborkan nampak belum mampu berbicara banyak dalam mendorong FDI.


TIM RISET CNBC INDONESIA





(dru) Next Article Jangan Senang Dulu, Penguatan Rupiah Semata Karena Eksternal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular