
Aksi Jual Bersih Investor Asing Sudah 43% dari 2017
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 March 2018 10:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual investor asing di pasar saham nampak kian tak bisa dibendung. Sepanjang pekan ini, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 2,8 triliun dan membawa IHSG terperosok sebesar 2% secara mingguan. Akibatnya, 'tabungan' sepanjang tahun 2018 pun habis sudah. Secara year-to-date (YTD), kini imbal hasil IHSG adalah -0,8%.
Secara kumulatif sepanjang 2018, jual bersih investor asing di pasar saham sudah mencapai Rp 17,3 triliun atau setara dengan 43% dari total jual bersih sepanjang 2017 yang sebesar Rp 39,9 triliun. Hal ini tentu mengkhawatirkan, mengingat 3 bulan pertama tahun ini pun belum terlewati.
Jika aliran modal asing keluar tak kunjung berhenti, bukan tidak mungkin bahwa nilainya akan melebihi capaian tahun lalu. Terlebih, potensi kenaikan dari IHSG dapat dikatakan sudah tidak terlalu besar lagi. Salah satu yang mengeluarkan proyeksi paling bullish terhadap kinerja IHSG pada tahun ini adalah PT Bahana Sekuritas.
Sekuritas plat merah ini menargetkan IHSG mencapai level 7.000 pada tahun ini. Jika dihitung dari level penutupan terakhir, potensi kenaikannya hanyalah sebesar 11%.
Lantas, jika pada tahun lalu kenaikan IHSG yang sebesar 19,99% saja menghasilkan jual bersih sebesar Rp 39,9 triliun, maka bukan tidak mungkin potensi kenaikan yang sudah relatif tidak besar sepanjang sisa tahun ini akan terus memacu investor asing melakukan aksi jual.
Sulit Dibendung
Pergerakan nilai tukar merupakan salah satu pertimbangan investor asing lainnya dalam mengambil keputusan. Dalam beberapa waktu terakhir, rupiah terus bergerak di atas Rp 13.700/US$, level yang terakhir kali kita lihat pada awal 2016 silam.
Pelaku pasar kini menantikan pertemuan the Federal Reserve selaku bank sentral AS pada 20-21 Maret mendatang waktu setempat. Jika ternyata kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini tetap 3 kali seperti yang direncanakan pada akhir 2017, tentu rupiah memiliki peluang menguat.
Namun, penguatan ini mungkin tidak akan terlalu signifikan, mengingat masih begitu banyak faktor eskternal yang membayangi pergerakan nilai tukar, seperti potensi perang dagang dalam skala global, pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un, hingga memanasnya tensi politik di negeri paman sam pasca Kementerian Keuangan AS resmi memberikan sanksi bagi beberapa warga negara dan entitas Rusia atas keterlibatannya dalam pemilu presiden tahun 2016 lalu. Dari dalam negeri, defisit neraca perdagangan selama tiga bulan berturut-turut tentu menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Akibatnya, aliran modal keluar investor asing akan tetap sulit untuk dibendung.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article Kinerja Pasar Saham Domestik Terpengaruh Wall Street
Secara kumulatif sepanjang 2018, jual bersih investor asing di pasar saham sudah mencapai Rp 17,3 triliun atau setara dengan 43% dari total jual bersih sepanjang 2017 yang sebesar Rp 39,9 triliun. Hal ini tentu mengkhawatirkan, mengingat 3 bulan pertama tahun ini pun belum terlewati.
Jika aliran modal asing keluar tak kunjung berhenti, bukan tidak mungkin bahwa nilainya akan melebihi capaian tahun lalu. Terlebih, potensi kenaikan dari IHSG dapat dikatakan sudah tidak terlalu besar lagi. Salah satu yang mengeluarkan proyeksi paling bullish terhadap kinerja IHSG pada tahun ini adalah PT Bahana Sekuritas.
Sekuritas plat merah ini menargetkan IHSG mencapai level 7.000 pada tahun ini. Jika dihitung dari level penutupan terakhir, potensi kenaikannya hanyalah sebesar 11%.
Lantas, jika pada tahun lalu kenaikan IHSG yang sebesar 19,99% saja menghasilkan jual bersih sebesar Rp 39,9 triliun, maka bukan tidak mungkin potensi kenaikan yang sudah relatif tidak besar sepanjang sisa tahun ini akan terus memacu investor asing melakukan aksi jual.
Sulit Dibendung
Pergerakan nilai tukar merupakan salah satu pertimbangan investor asing lainnya dalam mengambil keputusan. Dalam beberapa waktu terakhir, rupiah terus bergerak di atas Rp 13.700/US$, level yang terakhir kali kita lihat pada awal 2016 silam.
Pelaku pasar kini menantikan pertemuan the Federal Reserve selaku bank sentral AS pada 20-21 Maret mendatang waktu setempat. Jika ternyata kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini tetap 3 kali seperti yang direncanakan pada akhir 2017, tentu rupiah memiliki peluang menguat.
Namun, penguatan ini mungkin tidak akan terlalu signifikan, mengingat masih begitu banyak faktor eskternal yang membayangi pergerakan nilai tukar, seperti potensi perang dagang dalam skala global, pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un, hingga memanasnya tensi politik di negeri paman sam pasca Kementerian Keuangan AS resmi memberikan sanksi bagi beberapa warga negara dan entitas Rusia atas keterlibatannya dalam pemilu presiden tahun 2016 lalu. Dari dalam negeri, defisit neraca perdagangan selama tiga bulan berturut-turut tentu menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Akibatnya, aliran modal keluar investor asing akan tetap sulit untuk dibendung.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article Kinerja Pasar Saham Domestik Terpengaruh Wall Street
Most Popular