
IHSG Tak Pernah Negatif di Awal Tahun, Tapi Tidak Kali Ini
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 March 2018 08:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan anomali dalam dua bulan berturut-turut, yaitu pada Februari dan Maret.
Sepanjang bulan Februari, IHSG terkoreksi tipis sebesar 0,13% jika dibandingkan dengan posisi akhir Januari (month-on- month/MoM). Padahal, terhitung sejak tahun 2011 IHSG tak pernah mencatatkan imbal hasil negatif sepanjang bulan Februari.
Pada tahun 2017 misalnya, IHSG mencatatkan imbal hasil sebesar 1,75% MoM pada bulan Februari. Mundur 1 tahun sebelumnya, imbal hasilnya bahkan mencapai 3,38% MoM.
Tekanan dari sisi eksternal nampak menjadi pemberat laju IHSG pada bulan Februari. Pasalnya, tiga indeks saham utama Amerika Serikat, yaitu Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq, memasuki fase koreksi pada bulan lalu (turun lebih dari 10% jika ditarik dari titik tertingginya). Ketakutan atas kenaikan suku bunga acuan yang lebih cepat dari ekspektasi merupakan pemantik runtuhnya bursa saham AS, di samping penguatan yang memang sudah sangat signifikan (hal ini menimbulkan risiko profit taking).
Dalam testimoni pertamanya pasca dilantik sebagai Gubernur Federal Reserve yang baru, Jerome Powell, mengirimkan sinyal bahwa bank sentral dapat menaikkan suku bunga acuan lebih agresif dari yang direncanakan sebelumnya, yaitu tiga kali. Pelaku pasar lantas meninggalkan aset-aset berisiko, termasuk saham dan obligasi di Indonesia, sambil menunggu situasi menjadi lebih terkendali.
Berpotensi terulang pada bulan ini
Memasuki bulan Maret, hal yang sama lantas berpotensi terulang.
Sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (14/3/18), IHSG sudah terkoreksi sebesar 3,25% jika dibandingkan dengan posisi akhir Februari. Padahal, sejak tahun 2011 tak sekalipun IHSG memberikan imbal hasil negatif pada bulan Maret. Pada tahun lalu, imbal hasil IHSG sepanjang Maret mencapai 3,37% MoM.
Pada bulan ini, seluruh sektor saham kompak melemah, dipimpin oleh sektor pertambangan yang anjlok hingga 8,06% jika dibandingkan dengan posisi akhir Februari. Di posisi kedua, ada sektor barang konsumsi yang melemah sebesar 6,85%.
Pelemahan saham-saham sektor pertambangan dipicu oleh masih tertekannya harga minyak mentah dunia yang merupakan hasil dari kuatnya produksi AS. Sementara itu, masih belum stabilnya Wall Street ikut memberi tekanan terhadap harga si emas hitam.
Dari dalam negeri, kebijakan pemerintah yang menetapkan batas atas harga batu bara untuk kepentingan penyediaan listrik telah membuat pelaku pasar melepas saham-saham emiten batu bara. Terlebih, saham-saham emiten pertambangan, termasuk batu bara, telah naik begitu kencang sepanjang tahun.
Secara year-to-date (YTD) sampai dengan akhir Februari, imbal hasil indeks saham sektor pertambangan mencapai 26,13%.
Sementara itu, pelemahan sektor barang konsumsi disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, penurunan penjualan ritel. Survei penjualan ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel pada bulan Januari turun sebesar 1,8% secara year-on- year (YoY).
Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Hal ini menandakan bahwa pelemahan daya beli masyarakat Indonesia masih terjadi sampai dengan tahun ini.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman, dan tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Kedua, melemahnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Survei yang dilakukan BI menunjukkan IKK pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada dua komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis pada bulan Januari.
Menanti pertemuan the Fed
Pelaku pasar kini menunggu pertemuan the Fed yang akan dilaksanakan pada 20-21 Maret mendatang waktu setempat. Mengingat pelaku pasar nampak sudah yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps pada pertemuan bulan ini, maka fokus utama dari pertemuan tersebut adalah versi terbaru dot plot di bawah kepemimpinan Powell.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari 12 anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Pada Desember 2017 lalu, median dari dot plot untuk akhir tahun 2018 berada pada angka 2%-2,25%.
Dari sinilah diketahui bahwa the Fed berencana menaikkan suku bunganya sebanyak 3 kali pada tahun ini, dengan asumsi setiap kenaikan adalah sebesar 25bps.
Jika ternyata kenaikan suku bunga pada tahun ini tetap 3 kali seperti yang direncanakan pada akhir 2017, bursa saham Indonesia tentu memiliki peluang untuk membalikkan keadaan.
(prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Sepanjang bulan Februari, IHSG terkoreksi tipis sebesar 0,13% jika dibandingkan dengan posisi akhir Januari (month-on- month/MoM). Padahal, terhitung sejak tahun 2011 IHSG tak pernah mencatatkan imbal hasil negatif sepanjang bulan Februari.
Pada tahun 2017 misalnya, IHSG mencatatkan imbal hasil sebesar 1,75% MoM pada bulan Februari. Mundur 1 tahun sebelumnya, imbal hasilnya bahkan mencapai 3,38% MoM.
![]() |
Berpotensi terulang pada bulan ini
Memasuki bulan Maret, hal yang sama lantas berpotensi terulang.
Sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (14/3/18), IHSG sudah terkoreksi sebesar 3,25% jika dibandingkan dengan posisi akhir Februari. Padahal, sejak tahun 2011 tak sekalipun IHSG memberikan imbal hasil negatif pada bulan Maret. Pada tahun lalu, imbal hasil IHSG sepanjang Maret mencapai 3,37% MoM.
![]() |
Pelemahan saham-saham sektor pertambangan dipicu oleh masih tertekannya harga minyak mentah dunia yang merupakan hasil dari kuatnya produksi AS. Sementara itu, masih belum stabilnya Wall Street ikut memberi tekanan terhadap harga si emas hitam.
Dari dalam negeri, kebijakan pemerintah yang menetapkan batas atas harga batu bara untuk kepentingan penyediaan listrik telah membuat pelaku pasar melepas saham-saham emiten batu bara. Terlebih, saham-saham emiten pertambangan, termasuk batu bara, telah naik begitu kencang sepanjang tahun.
Secara year-to-date (YTD) sampai dengan akhir Februari, imbal hasil indeks saham sektor pertambangan mencapai 26,13%.
Sementara itu, pelemahan sektor barang konsumsi disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, penurunan penjualan ritel. Survei penjualan ritel yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel pada bulan Januari turun sebesar 1,8% secara year-on- year (YoY).
Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY. Hal ini menandakan bahwa pelemahan daya beli masyarakat Indonesia masih terjadi sampai dengan tahun ini.
Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman, dan tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.
Kedua, melemahnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Survei yang dilakukan BI menunjukkan IKK pada bulan Februari menurun menjadi 122,5 dari yang sebelumnya 126,1 pada bulan Januari. Melemahnya IKK bulan lalu disebabkan oleh penurunan pada dua komponen pembentuknya: Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) turun menjadi 112,2, dari yang sebelumnya 114,8, sementara Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) turun menjadi 132,8, dari yang sebelumnya 137,4.
Nilai IKE dan IEK yang masih berada di atas angka 100 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya masih optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan untuk enam bulan ke depan, walaupun tidak seoptimis pada bulan Januari.
Menanti pertemuan the Fed
Pelaku pasar kini menunggu pertemuan the Fed yang akan dilaksanakan pada 20-21 Maret mendatang waktu setempat. Mengingat pelaku pasar nampak sudah yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps pada pertemuan bulan ini, maka fokus utama dari pertemuan tersebut adalah versi terbaru dot plot di bawah kepemimpinan Powell.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari 12 anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Pada Desember 2017 lalu, median dari dot plot untuk akhir tahun 2018 berada pada angka 2%-2,25%.
Dari sinilah diketahui bahwa the Fed berencana menaikkan suku bunganya sebanyak 3 kali pada tahun ini, dengan asumsi setiap kenaikan adalah sebesar 25bps.
Jika ternyata kenaikan suku bunga pada tahun ini tetap 3 kali seperti yang direncanakan pada akhir 2017, bursa saham Indonesia tentu memiliki peluang untuk membalikkan keadaan.
(prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Most Popular