
Penguatan Dolar AS Berpeluang Tekan Pertamina

Pelemahan itu terjadi bahkan setelah Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi di dua pasar, yaitu valas dan surat berharga negara (SBN). Pelemahan mata uang itu tidak hanya menimpa rupiah, karena dolar AS begitu perkasa dibandingkan dengan mata uang negara-negara lainnya.
Greenback tengah memperoleh kembali momentumnya setelah pidato perdana Gubernur The Federal Reserve/The Fed, Jerome Powell. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang mitra dagang utamanya, bergerak menguat.
Di Indonesia, importir terbesar minyak mentah adalah PT Pertamina (Persero). Seperti diketahui, Pertamina mengimpor minyak mentah hingga ratusan juta barel per tahun sebagai bahan baku diolah menjadi BBM (jenis Premium, Pertamax, Pertalite, Solar, dan Avtur) yang kemudian dijual di dalam negeri.
Selain mengimpor minyak mentah untuk diolah, Pertamina juga mengimpor BBM yang akan disimpan dan disalurkan dalam jumlah yang sangat besar. Tercatat impor BBM RON di bawah 90 dan BBM RON 90 ke atas, masing-masing duduk di posisi ke-2 dan ke-3 dari komoditas yang paling banyak diimpor.
Sebagai tambahan, memang ada juga produk minyak yang diekspor Pertamina, tetapi nilainya masih lebih rendah dari produk minyak yang dijual di dalam negeri. Mengutip laporan keuangan Pertamina semester 1/2017, penjualan dalam negeri minyak mentah, gas, dan produk minyak mencapai US$17,46 milyar, jauh mengungguli pendapatan usaha dari penjualan ekspor yang hanya sebesar US$913,64 juta.
Jika sudah begitu, ada kemungkinan Pertamina menaikkan harga jual produk minyaknya, untuk mencegah kerugian lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang mengkonsumsi produk minyak Pertamina (Avtur) untuk beroperasi, juga akan menanggung kenaikan beban operasional. Bahkan, menurut Direktur Utama Air Asia Indonesia, Dendy Kurniawan, komponen bahan bakar bagi dapat mencapai 35%-40% dari total biaya operasional.
Selain Pertamina, perusahaan lain yang berisiko mengalami pembengkakan biaya operasional akibat kenaikan biaya impor bahan baku adalah perusahaan yang bergelut di industri makanan. Ini terlihat dari masifnya nilai impor bahan baku makanan seperti gula dan biji gandum yang duduk di posisi ke-5 dan ke-6 dari komoditas impor yang paling banyak diimpor negeri ini.
Karenanya, perusahaan-perusahaan seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI), dan PT Unilever Indonesia Tbk perlu waspada. Perusahaan yang “hobi” menarik pinjaman luar negeri juga perlu khawatir saat dolar AS menguat, karena beban pembayaran utangnya akan meningkat. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), perusahaan di sektor pertambangan, industri pengolahan, dan listrik, gas, air bersih, menjadi pemegang utang luar negeri terbesar pada Desember 2017 (selain sektor jasa keuangan).Dalam kasus Pertamina, lantaran memerlukan mata uang asing untuk mengimpor bahan bakunya, perusahan tersebut tercatat sebagai salah satu BUMN dengan utang valas terbesar di Indonesia. Namun, pada pertengahan 2015, Pertamina telah melakukan transaksi lindung nilai sebesar US$2,5 miliar untuk mengurangi risiko pelemahan kurs rupiah.
Pada periode tersebut, Pertamina mencatatkan total utang US$16 miliar atau lebih dari Rp 200 triliun. Tiga bank BUMN dilibatkan dalam transaksi tersebut yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.
BUMN lain dengan utang luar negeri yang besar, yakni PLN, juga melakukan transaksi lindung nilai dengan tiga bank yang sama, dengan total nilai kontrak US$30 juta pada 21 Agustus 2017. Seperti disampaikan oleh Kepala Divisi Treasury PLN, Iskandar, kebutuhan valas PLN dalam satu tahun bisa mencapai US$7,5 miliar, untuk pengeluaran operasional dan pembelian bahan bakar gas.
Hingga kuartal-I 2017, Bank Indonesia (BI) mencatat 173 perusahaan non-bank masih berisiko mengalami rugi kurs karena belum melakukan lindung nilai, sedangkan 2.527 lainnya telah melakukan hedging.
Sejak 2014, BI secara tegas mewajibkan perusahaan non-bank yang memiliki utang luar negeri untuk meningkatkan prinsip kehati-hatian, melalui penerbitan Peraturan BI No. 16/21/PBI/2014.***
(ags/ags) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya