
Volatilitas Rupiah Tak Setinggi Tetangga Sebelah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 February 2018 15:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah tengah memasuki periode yang bergejolak (volatile). Sentimen negatif dari dalam dan luar negeri menyebabkan nilai tukar rupiah bergerak "liar", meski tidak separah di negara-negara tetangga.
Mengutip data Reuters, Selasa (27/2/2018), berikut gambaran volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS):
Pada akhir Januari, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih berada di kisaran Rp 13.300/dolar AS. Kini pada penghujung Februari, rupiah melemah samai ke level Rp 13.600/dolar AS bahkan nyaris menyerempet Rp 13.700/dolar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama sebulan terakhir setidaknya disebabkan dua hal. Pertama adalah arus keluar modal asing (foreign capital outflow) yang cukup tinggi. Selama sebulan terakhir, nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 12,43 triliun. Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), kepemilikan asing dalam sebulan terakhir turun Rp 8,23 triliun.
Pada akhir Januari sampai pertengahan Februari, pasar keuangan memang tengah grogi. Investor kala itu mencemaskan kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang kemungkinan mengarah ke ultra ketat dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih dari tiga kali. Kekhawatiran ini muncul setelah rilis data inflasi AS periode Januari 2018 yang sebesar 2,1% secara tahunan, di atas perkiraan pasar yaitu 1,9%.
Sejak saat itu, rupiah cenderung bergerak melemah karena investor mencari selamat masing-masing dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang dinilai aman (flight to quality) seperti obligasi negara AS atau emas dalam beberapa kasus. Aset-aset yang berisiko (seperti yang berbasis rupiah) dilepas oleh investor sehingga menyebabkan pasokan valas dalam negeri berkurang dan rupiah pun melemah.
Situasi ini sepertinya masih akan terjadi sampai The Fed mengumumkan suku bunga acuan pada pekan ketiga Maret. Oleh karena itu, wajar ketika Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo memperkirakan volatilitas rupiah masih akan tinggi sampai periode tersebut.
"Volatilitas akan terjadi sampai Maret minggu ketiga. Namun BI akan ada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah," tegas Agus.
Faktor kedua, rupiah juga "dihajar" dari sektor riil yaitu jalur perdagangan. Menurut konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan sebesar 5,28%. Lebih baik dibandingkan tahun lalu yaitu 5,07%.
Ada "penyakit" yang sepertinya belum sembuh dalam perekonomian Indonesia. Ketika pertumbuhan ekonomi terakselerasi, biasanya akan disertai dengan peningkatan impor (terutama bahan baku dan barang modal). Sebab, industri dalam negeri belum mampu menyediakan kenaikan permintaan.
Akibatnya, impor pun meningkat. Terlihat dalam dua bulan terakhir neraca perdagangan Indonesia membukukan defisit akibat pertumbuhan impor yang tidak mampu diimbangi ekspor. Kencangnya impor berarti semakin banyak valas yang keluar sehingga rupiah pun melemah.
Dengan perkembangan di AS yang masih tidak pasti, di mana pasar terus melakukan risk on dan risk off, maka volatilitas nilai tukar masih akan menjadi tema keseharian. Mungkin volatilitas ini akan sedikit mereda kala The Fed sudah menaikkan suku bunga sehingga dolar AS menemukan keseimbangan baru.
Meski demikian, rupiah tidak sendiri. Dalam sebulan terakhir, mata uang kawasan juga bergerak dengan volatilitas tinggi. Bahkan volatilitas rupiah lebih rendah dibandingkan dolar Singapura, ringgit Malaysia, peso Filipina, atau baht Thailand.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, mengatakan sejauh ini nilai tukar rupiah memang tergolong stabil. Dengan berbagai ketidakpastian global, rupiah masih mampu mempertahankan volatilitas tidak terlalu tinggi dan tetap kompetitif.
"Jadi yang paling penting adalah kita menggambarkan nilai tukar rupiah yang cukup fleksibel tapi tetap stabil yang kemudian bisa menciptakan kepastian kepada dunia usaha. Namun juga tidak menimbulkan daya saing yang tererosi," jelas Sri Mulyani.
(aji/wed) Next Article Rupiah Loyo, Ini Curhatan Pengusaha
Mengutip data Reuters, Selasa (27/2/2018), berikut gambaran volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS):
- 1 minggu 4,17%.
- 2 minggu 4,41%.
- 1 bulan 4,84%.
- 2 bulan 4,13%.
- 3 bulan 3,43%.
- 6 bulan 3,5%.
- 1 tahun 2,78%.
![]() |
Pelemahan nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama sebulan terakhir setidaknya disebabkan dua hal. Pertama adalah arus keluar modal asing (foreign capital outflow) yang cukup tinggi. Selama sebulan terakhir, nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 12,43 triliun. Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), kepemilikan asing dalam sebulan terakhir turun Rp 8,23 triliun.
Sejak saat itu, rupiah cenderung bergerak melemah karena investor mencari selamat masing-masing dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang dinilai aman (flight to quality) seperti obligasi negara AS atau emas dalam beberapa kasus. Aset-aset yang berisiko (seperti yang berbasis rupiah) dilepas oleh investor sehingga menyebabkan pasokan valas dalam negeri berkurang dan rupiah pun melemah.
Situasi ini sepertinya masih akan terjadi sampai The Fed mengumumkan suku bunga acuan pada pekan ketiga Maret. Oleh karena itu, wajar ketika Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo memperkirakan volatilitas rupiah masih akan tinggi sampai periode tersebut.
"Volatilitas akan terjadi sampai Maret minggu ketiga. Namun BI akan ada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah," tegas Agus.
Faktor kedua, rupiah juga "dihajar" dari sektor riil yaitu jalur perdagangan. Menurut konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan sebesar 5,28%. Lebih baik dibandingkan tahun lalu yaitu 5,07%.
Ada "penyakit" yang sepertinya belum sembuh dalam perekonomian Indonesia. Ketika pertumbuhan ekonomi terakselerasi, biasanya akan disertai dengan peningkatan impor (terutama bahan baku dan barang modal). Sebab, industri dalam negeri belum mampu menyediakan kenaikan permintaan.
Akibatnya, impor pun meningkat. Terlihat dalam dua bulan terakhir neraca perdagangan Indonesia membukukan defisit akibat pertumbuhan impor yang tidak mampu diimbangi ekspor. Kencangnya impor berarti semakin banyak valas yang keluar sehingga rupiah pun melemah.
Dengan perkembangan di AS yang masih tidak pasti, di mana pasar terus melakukan risk on dan risk off, maka volatilitas nilai tukar masih akan menjadi tema keseharian. Mungkin volatilitas ini akan sedikit mereda kala The Fed sudah menaikkan suku bunga sehingga dolar AS menemukan keseimbangan baru.
Meski demikian, rupiah tidak sendiri. Dalam sebulan terakhir, mata uang kawasan juga bergerak dengan volatilitas tinggi. Bahkan volatilitas rupiah lebih rendah dibandingkan dolar Singapura, ringgit Malaysia, peso Filipina, atau baht Thailand.
![]() |
"Jadi yang paling penting adalah kita menggambarkan nilai tukar rupiah yang cukup fleksibel tapi tetap stabil yang kemudian bisa menciptakan kepastian kepada dunia usaha. Namun juga tidak menimbulkan daya saing yang tererosi," jelas Sri Mulyani.
(aji/wed) Next Article Rupiah Loyo, Ini Curhatan Pengusaha
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular