
Yield Obligasi Negara Naik, Waspadai Tekanan Inflasi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 February 2018 09:42

Jakarta, CNBC Indonesia – Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi tidak hanya terjadi di negara-negara maju. Yield obligasi pemerintah Indonesia pun cenderung bergerak naik, yang merupakan pertanda dari ekspektasi inflasi yang meningkat.
Pada awal 2018, yield obligasi negara tenor 10 tahun ada di kisaran 6,2%. Kemudian yield bergerak turun hingga titik terendahnya di 6,06% pada pertengahan Januari.
Namun selepas itu, yield terus bergerak naik. Saat ini, yield obligasi negara tenor 10 tahun berada di level 6,4%.
Yield obligasi merupakan salah satu indikator ekspektasi terhadap arah perekonomian. Sebab, yield obligasi merupakan gambaran ekspektasi suku bunga ke depan. Ketika yield obligasi naik maka tandanya suku bunga berpotensi naik.
Ketika suku bunga naik, artinya ada potensi tekanan inflasi. Ini yang kemungkinan dilihat oleh pelaku pasar, di mana ada potensi tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek.
Tahun ini, pemerintah sudah berjanji tidak akan menaikkan tarif listrik maupun harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kenaikan tarif listrik sangat mewarnai inflasi 2017, sehingga walau harga pangan terkendali Indonesia masih membukukan inflasi 3,61%.
Tidak adanya kenaikan tarif listrik dan harga BBM membuat inflasi kelompok administered prices mungkin tidak akan menjadi beban. Inflasi inti sejauh ini juga masih rendah, di bawah 3% karena faktor melambatnya dorongan permintaan.
Oleh karena itu, hal yang menjadi kecemasan investor adalah inflasi kelompok harga bergejolak atau volatile goods. Kebanyakan yang masuk di kelompok ini adalah bahan makanan.
Bobot bahan makanan dalam perhitungan inflasi adalah 18,85%. Artinya, sekitar 18,85% pengeluaran masyarakat dihabiskan untuk membeli bahan makanan.
Di antara bahan makanan, bobot beras adalah yang terbesar yaitu 4,03%. Oleh karena itu, kenaikan harga beras akan sangat mempengaruhi inflasi.
Mengutip data Reuters, pasokan beras dunia pada 2018 diperkirakan tumbuh 2,34%. Memang masih tumbuh, tapi lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelummya. Pertumbuhan pasokan beras tertinggi terjadi pada 2016, yang mencapai 15,66%.
Oleh karena itu, agak sulit untuk mendapatkan pasokan beras melalui jalur impor karena persediaan global yang relatif terbatas. Indonesia mesti bersaing dengan banyak negara untuk mendapatkan beras impor demi menjaga suplai dan harga di dalam negeri.
Jalan utama untuk menjaga pasokan beras domestik adalah dari kemampuan sendiri, alias produksi dalam negeri. Namun ini juga bukan perkara gampang.
Kajian Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pada 2018 produksi padi nasional diperkirakan 80,08 juta ton atau tumbuh 2,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi padi 2018 sama dengan 2017, yaitu 2,5%. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produksi 2016 yang 3,79%.
Faktor cuaca juga akan sangat mempengaruhi produksi beras. Umumnya tanaman padi membutuhkan suhu 25-30 derajat celsius agar mampu tumbuh optimal.
Setidaknya sampai awal Maret, cuaca cukup bersahabat untuk tanaman padi. Data Reuters memperkirakan pada periode 20 Februari-7 Maret 2018 suhu rata-rata adalah 26,7 derajat celcius. Cukup ideal untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi.
Namun Meski demikian, tetap ada risiko cuaca yang mengganggu produksi beras. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan masih akan tinggi akibat la nina. Dalam proyeksi BMKG, daerah-daerah yang menjadi lumbung padi nasional seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Sulawesi Selatan masih akan mengalami curah hujan yang cukup tinggi.
Melihat faktor tersebut, mungkin ada benarnya pasar kemudian melihat ada potensi tekanan inflasi ke depan. Akibatnya, yield obligasi pun terangkat naik.
Selain faktor domestik, pasar juga melihat ada kemungkinan inflasi global mengarah naik. Pemulihan ekonomi yang semakin nyata di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa membuat suku bunga acuan hampir pasti terjadi di sana. Belum lagi beberapa bank sentral di Asia seperti China, Korea Selatan, sampai Malaysia sudah terlebih dulu menaikkan suku bunga acuan.
Potensi tekanan inflasi dari domestik dan global telah membuat yield obligasi naik, termasuk di Indonesia. Ini bukan kabar baik bagi pemerintah, karena kenaikan yield akan menambah beban anggaran negara.
(aji/aji) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Pada awal 2018, yield obligasi negara tenor 10 tahun ada di kisaran 6,2%. Kemudian yield bergerak turun hingga titik terendahnya di 6,06% pada pertengahan Januari.
Namun selepas itu, yield terus bergerak naik. Saat ini, yield obligasi negara tenor 10 tahun berada di level 6,4%.
![]() |
Yield obligasi merupakan salah satu indikator ekspektasi terhadap arah perekonomian. Sebab, yield obligasi merupakan gambaran ekspektasi suku bunga ke depan. Ketika yield obligasi naik maka tandanya suku bunga berpotensi naik.
Ketika suku bunga naik, artinya ada potensi tekanan inflasi. Ini yang kemungkinan dilihat oleh pelaku pasar, di mana ada potensi tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek.
Tahun ini, pemerintah sudah berjanji tidak akan menaikkan tarif listrik maupun harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kenaikan tarif listrik sangat mewarnai inflasi 2017, sehingga walau harga pangan terkendali Indonesia masih membukukan inflasi 3,61%.
Tidak adanya kenaikan tarif listrik dan harga BBM membuat inflasi kelompok administered prices mungkin tidak akan menjadi beban. Inflasi inti sejauh ini juga masih rendah, di bawah 3% karena faktor melambatnya dorongan permintaan.
Oleh karena itu, hal yang menjadi kecemasan investor adalah inflasi kelompok harga bergejolak atau volatile goods. Kebanyakan yang masuk di kelompok ini adalah bahan makanan.
Bobot bahan makanan dalam perhitungan inflasi adalah 18,85%. Artinya, sekitar 18,85% pengeluaran masyarakat dihabiskan untuk membeli bahan makanan.
Di antara bahan makanan, bobot beras adalah yang terbesar yaitu 4,03%. Oleh karena itu, kenaikan harga beras akan sangat mempengaruhi inflasi.
Mengutip data Reuters, pasokan beras dunia pada 2018 diperkirakan tumbuh 2,34%. Memang masih tumbuh, tapi lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelummya. Pertumbuhan pasokan beras tertinggi terjadi pada 2016, yang mencapai 15,66%.
![]() |
Oleh karena itu, agak sulit untuk mendapatkan pasokan beras melalui jalur impor karena persediaan global yang relatif terbatas. Indonesia mesti bersaing dengan banyak negara untuk mendapatkan beras impor demi menjaga suplai dan harga di dalam negeri.
Jalan utama untuk menjaga pasokan beras domestik adalah dari kemampuan sendiri, alias produksi dalam negeri. Namun ini juga bukan perkara gampang.
Kajian Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pada 2018 produksi padi nasional diperkirakan 80,08 juta ton atau tumbuh 2,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi padi 2018 sama dengan 2017, yaitu 2,5%. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produksi 2016 yang 3,79%.
![]() |
Faktor cuaca juga akan sangat mempengaruhi produksi beras. Umumnya tanaman padi membutuhkan suhu 25-30 derajat celsius agar mampu tumbuh optimal.
Setidaknya sampai awal Maret, cuaca cukup bersahabat untuk tanaman padi. Data Reuters memperkirakan pada periode 20 Februari-7 Maret 2018 suhu rata-rata adalah 26,7 derajat celcius. Cukup ideal untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi.
Namun Meski demikian, tetap ada risiko cuaca yang mengganggu produksi beras. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan masih akan tinggi akibat la nina. Dalam proyeksi BMKG, daerah-daerah yang menjadi lumbung padi nasional seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Sulawesi Selatan masih akan mengalami curah hujan yang cukup tinggi.
![]() |
![]() |
Selain faktor domestik, pasar juga melihat ada kemungkinan inflasi global mengarah naik. Pemulihan ekonomi yang semakin nyata di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa membuat suku bunga acuan hampir pasti terjadi di sana. Belum lagi beberapa bank sentral di Asia seperti China, Korea Selatan, sampai Malaysia sudah terlebih dulu menaikkan suku bunga acuan.
Potensi tekanan inflasi dari domestik dan global telah membuat yield obligasi naik, termasuk di Indonesia. Ini bukan kabar baik bagi pemerintah, karena kenaikan yield akan menambah beban anggaran negara.
(aji/aji) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%
Most Popular