
Risiko Besar Hantui Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 February 2018 16:05

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah bergerak menguat pada hari ini. Namun ke depan, sepertinya ada risiko besar yang menghantui rupiah.
Mengutip Reuters, Kamis (15/2/2018), nilai rupiah di pasar spot pada pukul 14.40 WIB tercatat di Rp 13.545/dolar AS. Menguat 0,22% dibandingkan posisi pembukaan pasar di Rp 13.575/dolar AS.
Rupiah bergerak sejalan dengan mata uang regional. Penguatan tertinggi dialami oleh ringgit Malaysia, yang menguat sampai 0,57%. Sementara yen terus melanjutkan penguatannya terhadap greenback ke titik terkuat dalam 15 bulan terakhir.
Berikut perkembangan nilai sejumlah mata uang Asia terhadap dolar AS:
Meski inflasi Negeri Paman Sam terakselerasi dan suku bunga acuan kemungkinan besar naik bulan depan, tetapi investor sepertinya tidak ragu untuk mengambil risiko. Investor mungkin berpikir rasional bahwa fundamental ekonomi global membaik, pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, dan perdagangan dunia semakin semarak.
Senada dengan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun diperkirakan membaik. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,07% dan para 2018 konsensus CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di angka 5,28%.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih baik ini menyimpan risiko bagi rupiah. Ini merupakan “penyakit” lama yang belum kunjung sembuh, terakhir terjadi sekitar 2013-2014 dan bukan tidak mungkin bisa terulang kembali.
Ketika pertumbuhan ekonomi membaik, biasanya impor Indonesia pun membludak. Sebab industri dalam negeri belum mampu memenuhi naiknya permintaan, terutama untuk bahan baku dan barang modal untuk keperluan investasi.
Walau masih sangat awal, gejala ini sudah terlihat dalam dua bulan terakhir. Neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 dan Januari 2018 membukukan defisit masing-masing US$ 270 juta dan US$ 680 juta. Penyebabnya adalah impor yang tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan ekspor.
Pada Desember 2017, pertumbuhan ekspor hanya 6,93% secara year on year (YoY) sementara impor naik sampai 17,83%. Sementara bulan lalu ekspor tumbuh 7,86% YoY tetapi impor melesat 26,44%.
Pada Desember 2017, impor bahan baku naik 16,56% YoY dan impor barang modal tumbuh 12,14% YoY. Angka itu meningkat pada Januari 2018, di mana impor bahan baku naik 24,76% YoY dan impor barang modal tumbuh 30,9%.
Peningkatan impor secara konsisten pada gilirannya akan menekan transaksi berjalan (current account), yang menggambarkan jumlah valas yang ada di dalam negeri. Bila transaksi berjalan defisit, maka valas yang masuk lebih kecil dibandingkan yang keluar, salah satunya akibat neraca perdagangan yang defisit.
Ketika transaksi berjalan mengalami defisit maka akan mengancam nilai tukar rupiah karena minimnya cadangan valas di dalam negeri. Hal ini sama seperti yang terjadi pada periode 2013-2014, jelang pergantian pemerintahan.
Kala itu, rupiah bergerak seperti roller coaster. Rupiah yang awalnya masih nyaman di kisaran Rp 9.000/dolar AS dalam waktu yang tidak lama bisa menembus level Rp 12.000/dolar AS.
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah defisit transaksi berjalan. Puncaknya terjadi pada kuartal II-2014, yang mencapai 4,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah dan Bank Indonesia kala itu terpaksa agak mengerem pertumbuhan ekonomi untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.
Mengutip laporan triwulanan Bank Dunia, impor Indonesia pada 2018 memang diperkirakan tumbuh tinggi. Hal ini terlihat dari defisit transaksi berjalan 2018 yang diproyeksikan sebesar 1,8% dari produk domestik bruto (PDB). Naik dibandingkan realisasi 2017 yang 1,7% PDB.
Investasi Indonesia tetap akan tumbuh cukup cepat pada 2018, di mana Bank Dunia memperkirakan mencapai 6,1%. Investasi membutuhkan bahan baku dan barang modal, yang sayangnya belum bisa sepenuhnya disediakan oleh industri dalam negeri. Akibatnya, impor kedua kelompok barang ini diperkirakan naik pada 2018.
Oleh karena itu, potensi kenaikan defisit transaksi berjalan pada 2018 patut dicermati. Sebab, dampaknya bisa ke berbagai penjuru termasuk mengancam nilai tukar rupiah.
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Mengutip Reuters, Kamis (15/2/2018), nilai rupiah di pasar spot pada pukul 14.40 WIB tercatat di Rp 13.545/dolar AS. Menguat 0,22% dibandingkan posisi pembukaan pasar di Rp 13.575/dolar AS.
![]() |
Rupiah bergerak sejalan dengan mata uang regional. Penguatan tertinggi dialami oleh ringgit Malaysia, yang menguat sampai 0,57%. Sementara yen terus melanjutkan penguatannya terhadap greenback ke titik terkuat dalam 15 bulan terakhir.
![]() |
Meski inflasi Negeri Paman Sam terakselerasi dan suku bunga acuan kemungkinan besar naik bulan depan, tetapi investor sepertinya tidak ragu untuk mengambil risiko. Investor mungkin berpikir rasional bahwa fundamental ekonomi global membaik, pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, dan perdagangan dunia semakin semarak.
Senada dengan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun diperkirakan membaik. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,07% dan para 2018 konsensus CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di angka 5,28%.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih baik ini menyimpan risiko bagi rupiah. Ini merupakan “penyakit” lama yang belum kunjung sembuh, terakhir terjadi sekitar 2013-2014 dan bukan tidak mungkin bisa terulang kembali.
Ketika pertumbuhan ekonomi membaik, biasanya impor Indonesia pun membludak. Sebab industri dalam negeri belum mampu memenuhi naiknya permintaan, terutama untuk bahan baku dan barang modal untuk keperluan investasi.
Walau masih sangat awal, gejala ini sudah terlihat dalam dua bulan terakhir. Neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 dan Januari 2018 membukukan defisit masing-masing US$ 270 juta dan US$ 680 juta. Penyebabnya adalah impor yang tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan ekspor.
Pada Desember 2017, pertumbuhan ekspor hanya 6,93% secara year on year (YoY) sementara impor naik sampai 17,83%. Sementara bulan lalu ekspor tumbuh 7,86% YoY tetapi impor melesat 26,44%.
Pada Desember 2017, impor bahan baku naik 16,56% YoY dan impor barang modal tumbuh 12,14% YoY. Angka itu meningkat pada Januari 2018, di mana impor bahan baku naik 24,76% YoY dan impor barang modal tumbuh 30,9%.
Peningkatan impor secara konsisten pada gilirannya akan menekan transaksi berjalan (current account), yang menggambarkan jumlah valas yang ada di dalam negeri. Bila transaksi berjalan defisit, maka valas yang masuk lebih kecil dibandingkan yang keluar, salah satunya akibat neraca perdagangan yang defisit.
Ketika transaksi berjalan mengalami defisit maka akan mengancam nilai tukar rupiah karena minimnya cadangan valas di dalam negeri. Hal ini sama seperti yang terjadi pada periode 2013-2014, jelang pergantian pemerintahan.
![]() |
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah defisit transaksi berjalan. Puncaknya terjadi pada kuartal II-2014, yang mencapai 4,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pemerintah dan Bank Indonesia kala itu terpaksa agak mengerem pertumbuhan ekonomi untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.
![]() |
Investasi Indonesia tetap akan tumbuh cukup cepat pada 2018, di mana Bank Dunia memperkirakan mencapai 6,1%. Investasi membutuhkan bahan baku dan barang modal, yang sayangnya belum bisa sepenuhnya disediakan oleh industri dalam negeri. Akibatnya, impor kedua kelompok barang ini diperkirakan naik pada 2018.
Oleh karena itu, potensi kenaikan defisit transaksi berjalan pada 2018 patut dicermati. Sebab, dampaknya bisa ke berbagai penjuru termasuk mengancam nilai tukar rupiah.
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular