
Newsletter
Investor Cemaskan Kenaikan Suku Bunga Global
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 February 2018 07:21

- IHSG terkoreksi 0,59% pada perdagangan awal pekan.
- Bursa Asia cenderung ditutup melemah, Nikkei turun sampai 2,55%.
- Wall Street anjlok, Dow Jones dan S&P 500 sudah melemah secara YTD.
IHSG ditutup melemah 0,59% ke 6.589,67 poin pada perdagangan awal pekan ini. Seluruh sektor saham ditutup turun, dipimpin oleh sektor aneka industri yang melemah hingga 1,87%
Transaksi berlangsung moderat dengan nilai Rp 7,12 triliun. Sebanyak 122 saham ditutup menguat, 242 saham melemah, sementara 190 lainnya stagnan. Investor asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp 657,18 miliar.
Data pertumbuhan ekonomi 2017 yang sebesar 5,07%, lebih baik dari ekspektasi 5,06%, menjadi penahan IHSG melemah lebih dalam. Sebelum rilis data tersebut, IHSG sempat melemah sampai di kisaran 1,5%.
Namun, sentimen positif dari pertumbuhan ekonomi kurang bertenaga untuk membendung energi negatif dari luar. Bursa Asia bergerak melemah cukup dalam dan berimbas ke IHSG.
Nikkei 225 anjlok 2,55%, Hang Seng terkoreksi 1,1%, sementara Strait Times melemah 1,33%. Kejatuhan bursa Asia kali ini disebabkan oleh kegugupan pasar dalam merespons tren kenaikan suku bunga global yang sepertinya sudah di depan mata.
Pemulihan ekonomi di negara-negara maju semakin terlihat sehingga cepat atau lambat pasti akan direspons dengan pengetatan kebijakan moneter. Di Eropa, data Purchasing Manager Index (PMI) dari Markit periode Januari 2018 tercatat 58,8. Naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 58,1. Angka PMI Januari 2018 merupakan yang tertinggi sejak Juni 2006.
Dunia usaha di Benua Biru sepertinya sudah sangat optimistis menyambut 2018. Markit memperkirakan pertumbuhan ekonomi Eropa pada kuartal I-2018 bisa mencapai 1%, yang bila terjadi merupakan level tertinggi sejak 2010.
Dengan perkembangan ini, stimulus moneter yang begitu deras dikucurkan oleh bank sentral Uni Eropa (ECB) bisa berakhir kapan saja. Kecenderungan ini bisa menular ke negara-negara lain seperti Jepang, yang saat ini masih menerapkan suku bunga negatif.
Eropa akan menjadi kawasan negara maju kedua yang menerapkan kebijakan moneter ketat setelah Amerika Serikat (AS). Sejak akhir 2015, kebijakan moneter Negeri Paman Sam memang cenderung ketat. Bahkan tahun ini, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan menaikkan suku bunga acuan sampai tiga kali.
Namun, pasar khawatir kalau kenaikan suku bunga global terjadi terlalu cepat. Kecemasan ini disalurkan dengan mengamankan diri masing-masing, memburu aset-aset yang aman. Obligasi pemerintah AS menjadi pilihan utama.
Apalagi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS sedang sangat menarik, mencapai 2,8%. Bursa saham pun anjlok karena ditinggalkan investor.
Wall Street pada awal pekan ini masih melanjutkan koreksinya, bahkan kini lebih dalam. Dow Jones dicukur gundul sampai melemah 4,6%, S&P 500 terkoreksi 4,1%, dan Nasdaq anjlok 3,78%.
Dengan pelemahan yang tajam dalam perdagangan dua hari terakhir, maka Dow Jones dan S&P 500 sudah menghabiskan “tabungan” penguatannya sejak awal 2018. Dow Jones secara year to date (YTD) kini minus 1,51%, S&P 500 melemah 0,93%. Nasdaq masih punya simpanan penguatan 1,56%.
Wall Street memang sebelumnya dihiasi oleh rekor demi rekor didorong oleh berbagai sentimen positif. Mulai dari data ketenagakerjaan, inflasi, pertumbuhan ekonomi, sampai kebijakan pemotongan tarif pajak bagi korporasi. Ini membuat pelaku pasar mengalami euforia yang terjadi sampai awal tahun ini.
Namun memasuki Februari, mungkin investor sadar bahwa dunia tidak seindah itu. Tren kenaikan suku bunga global sudah di depan mata, kebijakan moneter ketat akan segera menjadi norma baru, dan likuiditas tidak akan lagi melimpah seperti sekarang. Investor pun sepertinya mulai bersiap menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Untuk perdagangan hari ini, anjloknya Wall Street sepertinya akan sangat mewarnai IHSG. Perlu dorongan dari bursa Asia bila IHSG ingin membalikkan pelemahan.
Namun sepertinya agak berat, karena dolar AS pun sedang perkasa. Dollar Index tercatat naik 0,49% karena derasnya aliran dana ke obligasi negara AS. Ini bisa menjadi sentimen negatif terhadap mata uang regional, termasuk rupiah, dan bisa berimbas ke IHSG.
Data Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) juga mungkin tidak terlalu banyak membantu. IKK periode Januari 2018 tercatat 126,1, turun tipis dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar 126,4.
Persepsi konsumen terhadap ketepatan waktu pembelian barang tahan lama dan perkiraan ketersediaan lapangan kerja pada enam bulan mendatang mengalami penurunan. Pada 6 bulan mendatang, konsumen memperkirakan adanya peningkatan tekanan kenaikan harga seiring dengan belum lancarnya distribusi barang pasca hari raya Idul Fitri.
Harga minyak juga sedang tidak bisa diharapkan untuk mendorong IHSG. Akibat penguatan dolar AS, harga minyak pun anjlok sampai 2%. Biasanya kenaikan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena mendongkrak kinerja emiten migas dan pertambangan.
Namun ada yang bisa membantu IHSG untuk setidaknya jangan melemah terlalu dalam, yaitu laporan kinerja emiten. Hari ini akan ada penyampaian laporan keuangan TMPO dan BMRI. Bila hasilnya bagus, diharapkan bisa sedikit memberikan optimisme kepada pelaku pasar.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri Kabinet Kerja akan mengadakan rapat membahas kebakaran hutan dan lahan (09.00 WIB).
- Rilis data indeks penjualan ritel Indonesia periode Desember 2017 (15.00 WIB).
- Rilis data cadangan minyak AS (22.30).
![]() |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
![]() |
Berikut pergerakan sejumlah mata uang utama dunia:
![]() |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas utama:
![]() |
Berikut perkembangan yield Surat Berharga Negara Indonesia:
![]() |
Berikut perkembangan sejumlah indikator perekonomian nasional:
![]() |
Tags
Related Articles
Most Popular
Recommendation
