
Dolar AS Sempat 'Keok' Namun Ditutup Kembali ke Rp 13.400/US$
Hidayat Setiaji & Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
09 January 2018 08:00

- Rupiah sempat dibuka menguat sejak September 2017
- Penguatan harus ditutup kembali ke level Rp 13.400/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sempat menyentuh level Rp 13.394/US$ kemarin. Bahkan dolar AS mencatat nilai terendahnya di level Rp 13.390/US$.
Namun, penguatan rupiah terhadap dolar AS ini tertahan ketika penutupan perdagangan selesai. Dolar AS kembali ke level Rp 13.400/US$ atau tepatnya di level Rp 13.426/US$.
Dolar AS yang jatuh ke Rp 13.397/dolar ini merupakan posisi rupiah yang terkuat sejak 25 September 2017.
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengungkapkan bursa saham dalam negeri masih diwarnai asing yang mencatatkan net buying. "Inflow secara year to date dari asing tercatat Rp 1,4 triliun," ungkap Andry dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/1/2018).
Dolar AS memang sedang dalam tren melemah sejak tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari kondisi mata uang tersebut yang seakan menguat sendiri pada 2015, sementara mata uang lain bergerak melemah. Oleh karena itu, sejak tahun lalu dolar AS mulai terkoreksi dan tren ini berlanjut hingga 2018.
![]() |
Bagi Indonesia, ada faktor lain yang membantu penguatan nilai tukar rupiah, yaitu kenaikan harga komoditas. Saat ini, sekitar 60% ekspor Indonesia masih berupa komoditas. Oleh karena itu, kenaikan harga komoditas akan menambah pasokan valuta asing (valas) Indonesia dan mendukung penguatan rupiah.
Saat ini, Dollar Indeks berada di posisi 91,95. Dalam setahun terakhir, Dollar Indeks telah melemah 9,6%, terdalam sejak 2003.
Pada 2016, dolar AS memang seakan menguat sendiri. Ini karena perekonomian AS mulai menujukkan tanda-tanda pemulihan, dan bank sentral (The Federal Reserve/The Fed) juga terus mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan.
Saat itu, perekonomian Eropa dan negara-negara berkembang seperti China justru tertekan. Akibatnya AS menjadi motor penggerak ekonomi dunia seorang diri, dan investor pun memilih untuk berburu aset-aset berbasis dolar AS.
Memasuki 2017, Eropa mulai membaik. Pasar pun sudah bisa menerima bahwa perekonomian China sudah dalam fase keseimbangan baru dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,5% per tahun.
Bank sentral Eropa sudah memberi ancang-ancang pengetatan kebijakan moneter, begitu pula China. Perkembangan ini menyebabkan mata uang lain menguat, dan giliran dolar AS yang defensif. Tren ini masih berlanjut pada awal 2018.
![]() |
Bagi pemerintah, penguatan rupiah bisa dibilang menguntungkan. Meski ada penurunan penerimaan negara, misalnya dari setoran royati pertambangan, tetapi ada biaya yang turun misalnya pembayaran bunga utang.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, asumsi nilai tukar rupiah adalah Rp 13.400/US$. Bila kurs bisa kembali menguat ke Rp 13.300/US$, maka pemerintah akan mendapat kelebihan dana Rp Rp 1,3-1,9 triliun
Mengutip dokumen APBN 2018, berikut dampak penguatan nilai tukar rupiah setiap Rp 100/US$:
![]() |
Namun yang harus diwaspadai dari penguatan rupiah ini adalah membanjirnya barang impor.
Bila nilai tukar rupiah terus stabil, bahkan menguat, maka dampaknya adalah kemungkinan produk impor akan membanjiri pasar dalam negeri. Gambaran sejak 2014 menunjukkan bagaimana impor tumbuh sejalan dengan pergerakan rupiah.
Berikut pergerakan rupiah dan impor sejak 2014:
![]() |
"Kita lihat ini bukti kuat optimisme asing ke pasar modal kita, asing net buy terus sehingga rupiah menguat. Kita harapkan pasar modal baik, obligasi dan saham akan semakin menarik karena investor asing masuk terus ke kita," kata Analis dari Mirae Asset Sekuritas, Franky Rivan.
Sementara itu, Andry memproyeksikan dolar AS akan bergerak di level Rp 13.398 hingga Rp 13.448 hari Selasa.
Next Article Rupiah Sempat Beraksi di Level 13.000-an
Most Popular