Mahasiswa di Korea Ketakutan, Muncul Fenomena "Tahun Kelima Sukarela"
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena baru muncul di Korea Selatan, yakni mahasiswa memilih menunda kelulusan karena takut menghadapi pasar kerja yang makin melemah.
Data terbaru menunjukkan lebih dari 9.000 mahasiswa di sembilan universitas regional besar dan enam universitas swasta terkemuka di Seoul menunda wisuda hingga September 2024.
Jumlah ini melonjak hampir 50% dibandingkan 2022, dan diperkirakan terus bertambah karena sejumlah kampus belum memproses permohonan penundaan untuk tahun depan.
Praktik menunda kelulusan, yang oleh mahasiswa Korea disebut "tahun kelima sukarela", menjadi strategi populer untuk bertahan di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Dengan membayar 100.000 hingga 200.000 won, mahasiswa yang sebenarnya sudah memenuhi syarat gelar bisa tetap berstatus mahasiswa aktif.
Status ini dianggap memberi keuntungan besar, mereka masih bisa mengakses magang, peluang rekrutmen, hingga informasi lowongan yang makin jarang muncul lewat perekrutan massal.
"Perusahaan menginginkan kandidat dengan berbagai keterampilan, dan lebih mudah mempersiapkan hal itu sebagai mahasiswa aktif dibandingkan sebagai lulusan yang menganggur," kata Choi Seung-hee, mahasiswa 24 tahun yang memilih menunda kelulusan, dikutip dari Korea Herald, Sabtu (6/12/2025).
Fenomena ini paling terlihat di luar Seoul. Pusan National University mencatat 589 mahasiswa menunda wisuda, naik 36% dan menjadi yang tertinggi dalam empat tahun.
Di universitas-universitas besar Busan, Pusan National, Dong-A, dan Pukyong National, lebih dari 1.800 mahasiswa memilih tetap kuliah. Beberapa kampus bahkan melaporkan hingga 13% calon lulusan memilih menunda.
Provinsi Gangwon juga mengalami kenaikan signifikan, dengan jumlah penunda kelulusan melonjak 51% dalam tiga tahun menjadi 647 mahasiswa pada 2025. Penyebab utamanya karena lapangan kerja yang semakin menyempit.
Rasio lowongan kerja terhadap pelamar dari Kementerian Tenaga Kerja turun ke 0,42 pada Oktober, level terendah untuk bulan tersebut sejak 1998, setelah krisis finansial Asia. Artinya, untuk setiap 100 pencari kerja, hanya tersedia 42 lowongan.
Para pakar memperingatkan bahwa gelombang penundaan ini mencerminkan betapa seriusnya krisis pekerjaan bagi anak muda dan berpotensi memperbesar ketimpangan ekonomi regional.
Penundaan masuknya anak muda ke dunia kerja juga dikhawatirkan menekan pertumbuhan ekonomi jangka panjang Korea Selatan.
Di sisi lain, data pendaftaran universitas menunjukkan perubahan tren besar, semakin sedikit mahasiswa yang ingin kuliah di Seoul.
Berdasarkan data Jinhaksa, hanya 18,8% pelamar yang mengincar universitas di Seoul untuk tahun ajaran 2026, turun tajam lima poin persentase dari tahun sebelumnya dan menjadi yang terendah sejak 2022. Padahal sebelumnya angka tersebut konsisten naik dalam empat tahun terakhir.
Sebaliknya, jumlah pendaftar ke universitas di daerah, mulai dari Chungcheong hingga Gangwon, mengalami kenaikan hampir di semua wilayah.
Mahasiswa kini semakin mempertimbangkan biaya hidup yang lebih murah, peluang diterima yang lebih tinggi, serta keberadaan jalur seleksi khusus untuk mahasiswa lokal.
"Banyak mahasiswa menghindari persaingan brutal di Seoul dan memilih universitas daerah secara strategis," ujar Woo Yeon-cheol dari Jinhaksa Admissions Strategy Research Institute.
Ia menambahkan, meningkatnya jumlah peserta ujian tahun ini membuat lebih banyak mahasiswa memilih jalur aman, dan tren tersebut diperkirakan terus berlanjut pada penerimaan reguler.
"Peningkatan jumlah peserta ujian tahun ini mendorong lebih banyak mahasiswa memilih pilihan yang lebih aman. Dan tren ini diperkirakan berlanjut hingga putaran penerimaan reguler," tambahnya.
[Gambas:Video CNBC]