Ahli Ungkap Asal-Usul Manusia Ciuman, Ternyata Meniru Orangutan
Jakarta, CNBC Indonesia - Ciuman kerap dianggap bagian esensial dari hubungan romantis. Dia menjadi sarana untuk mengekspresikan kasih sayang, kedekatan, dan keintiman. Karena begitu umum, banyak yang mengira ciuman adalah perilaku sosial yang muncul belakangan dalam sejarah manusia.
Namun, sebuah studi terbaru justru menemukan hal sebaliknya. Penelitian dari Universitas Oxford mengungkap perilaku berciuman ternyata jauh lebih tua dari yang dibayangkan. Jejaknya bahkan dapat ditarik mundur hingga sekitar 21 juta tahun lalu. Alias jauh sebelum kemunculan manusia modern.
Kepada CNN International (24/11), ahli biologi evolusi dan peneliti utama Oxford University, Matilda Brindle, menjelaskan temuan ini diperoleh melalui analisis filogenetik dan pemodelan statistik yang dijalankan mencapai 10 juta kali. Sebab, tidak mungkin mencari jejak ciuman dari fosil. Alhasil, lewat metode ini ilmuwan bisa merekonstruksi karakter spesies yang telah punah berdasarkan perilaku hewan yang masih hidup.
"Dengan informasi itu, kami bisa semacam 'bepergian' kembali ke masa lalu," ujarnya.
Dari metode itu, para peneliti memetakan perilaku primata modern dan membangun pohon hubungan genetik antarspesies untuk menelusuri dari mana sifat tersebut berasal. Hasilnya, ciuman diperkirakan telah muncul pada leluhur kera besar antara 21,5 juta hingga 16,9 juta tahun lalu.
Temuan ini memang didukung oleh fakta bahwa beberapa kera masa kini, seperti simpanse, orangutan, hingga satu spesies gorila, juga melakukan kontak mulut-ke-mulut. Begitu juga manusia. Jika benar demikian, kerabat manusia seperti Neanderthal kemungkinan besar juga berciuman. Bahkan, karena diketahui manusia modern pernah kawin-silang dengan Neanderthal, ada kemungkinan kedua spesies itu saling berciuman.
Meski begitu, penelitian ini belum bisa menjelaskan alasan pasti mengapa ciuman muncul pada awalnya. Sebab, ciuman tidak memberikan keuntungan reproduktif yang langsung terlihat. Terlebih lagi, ciuman juga membawa resiko penularan penyakit tinggi. Diduga kuat, ciuman dilakukan untuk menilai kecocokan pasangan, memperkuat ikatan sosial, meredakan konflik, hingga bagian dari pola pengasuhan.
Atas dasar ini, ciuman disebut sebagai "teka-teki evolusioner." Tim peneliti juga menegaskan bahwa meski ada sinyal evolusioner kuat, ciuman bukan perilaku universal. Sebagian budaya manusia tidak mempraktikkannya sama sekali. Selain itu, data tentang ciuman pada hewan di luar kelompok kera masih sangat minim, sehingga penelitian lanjutan tetap dibutuhkan.
"Yang kami lakukan ini baru langkah awal untuk menunjukkan bahwa ciuman memang sifat yang berevolusi. Perilaku ini sangat kuno, tapi alasan di baliknya yang masih harus dijawab," kata Brindle.
(mfa/mfa)