Tumbuhan Asal Indonesia Ini Disebut Nabi "Tanaman Surga", Diburu Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu tumbuhan asal Indonesia disebut sebagai tanaman surga. Menurut beberapa sumber tradisional Islam, Kayu Gaharu dipercaya turun dari surga selain tongkat Nabi Musa, Buah Tin, cincin Nabi Sulaiman, dan Hajar Aswad.
Dalam salah satu riwayat yang dituturkan Imam Bukhari, Nabi Muhammad menegaskan posisi Kayu Gaharu yang juga akan dipakai penghuni surga.
"Golongan penghuni surga yang pertama kali masuk surga adalah berbentuk rupa pada malam bulan purnama. Nyala perdupaan mereka adalah gaharu."
Gaharu sendiri merupakan tanaman khas tropis. Wangi khasnya berasal dari infeksi mikroba atau jamur pada tanaman gaharu (Agarwood) yang terluka.
Peneliti Ashley Buchanan di Daily JStor menuliskan tanaman gaharu yang terluka hanya ada 7%-10% populasi. Artinya tanaman ini langka dan harganya mahal.
Khusus di Indonesia, Gaharu banyak ditemukan di Sumatera. Kerajaan kuno telah melakukan ekspor tanaman itu, seperti Kerajaan Sriwijaya yang menjualnya ke pedagang Arab selama abad 7-11 Masehi.
Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1996) menjelaskan gahari dijual dengan kapur barus, cendana dan rempah-rempah lain. Ternyata kapur baru juga disebut Al-Qur'an yang akan digunakan oleh penghuni surga.
Pasar penjualan Gaharu juga menuju para pedagang Mesir, termasuk Abu al-Abbas. Pedagang kaya raya mendapatkan untung besar dari bisnisnya menjual Gaharu.
Arkeolog Slamet Mulyana dalam Sriwijaya (2006) mengatakan Gaharu dalam berita China disebut sebagai komoditas ekspor dan upeti dari Kerajaan Pahang dan Kelantan di Malaya ke Kekaisaran China. Gaharu dikirim dengan emas sebagai permintaan perlindungan pada China.
Wilayah lain yang juga menjadi sumber Gaharu adalah Sumatera Barat. Banyak pedagang Gujarat India diungkapkan penjelajah Tome Pires dalam Suma Oriental (1515) kerap mendatangi wilayah itu untuk kayu Gaharu dan komoditas lain.
Setiap tahunnya terdapat 1-3 kapal yang berkunjung ke Pariaman untuk membawa Gaharu. Kayu itu kemudian dijual lagi ke Jazirah Arab dengan harga tinggi.
Proses jual beli masih berlanjut hingga kini. Nilainya juga cukup tinggi dengan harga mencapai US$20 ribu-US$100 ribu (Rp333,4 juta-Rp1,6 miliar) per kg.
(luc/luc)