Kabar Duka: 14 Anak Meninggal, Diduga usai Minum Obat Batuk Sirup
Jakarta, CNBC Indonesia - Kepolisian India membuka penyelidikan kasus dugaan pembunuhan tidak berencana (manslaughter) terkait kematian sedikitnya 14 anak yang diduga akibat mengonsumsi sirup batuk beracun bermerek Coldrif Syrup. Kasus ini kembali mencoreng reputasi industri farmasi India setelah serangkaian tragedi serupa dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar korban berusia di bawah lima tahun dan meninggal karena gagal ginjal dalam sebulan terakhir setelah minum sirup tersebut. Berdasarkan laporan kepolisian yang dilihat Reuters, sirup Coldrif diketahui mengandung zat beracun diethylene glycol (DEG) hingga 500 kali lipat di atas batas aman yang ditetapkan otoritas kesehatan.
"Semua anak awalnya mengalami gejala seperti flu biasa atau demam, lalu diberi Coldrif Syrup. Setelah itu mereka mengalami kesulitan buang air kecil dan gangguan ginjal akut," tulis laporan kepolisian di negara bagian Madhya Pradesh dikutip dari Reuters, Selasa (7/10/2025).
Diethylene glycol merupakan bahan kimia yang umum digunakan dalam produk antifreeze, kosmetik, dan pelumas industri. Zat ini bisa memicu muntah, nyeri perut, hingga kerusakan ginjal akut yang berpotensi mematikan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tes laboratorium di dua negara bagian menunjukkan kadar DEG sangat tinggi: 48,6% di Tamil Nadu dan 46,28% di Madhya Pradesh, padahal batas aman yang ditetapkan pemerintah India dan WHO hanyalah 0,1%.
Pihak berwenang telah menahan dokter Praveen Soni, yang meresepkan sirup tersebut kepada sebagian besar korban. Polisi juga menetapkan Sresan Pharma, produsen Coldrif Syrup, sebagai tersangka utama.
Kementerian Kesehatan India menyatakan telah merekomendasikan pencabutan izin produksi Sresan Pharma. Sejumlah negara bagian juga telah melarang peredaran sirup Coldrif, yang selama ini hanya dijual di pasar domestik.
India merupakan produsen obat terbesar ketiga di dunia berdasarkan volume, dengan nilai industri mencapai US$50 miliar (sekitar Rp800 triliun). Sekitar 40% obat generik di AS, 25% di Inggris, dan lebih dari 90% obat di berbagai negara Afrika dipasok dari India.
Namun, industri farmasi negara tersebut kembali disorot setelah kasus kematian anak akibat sirup batuk bermerek India juga terjadi di Gambia, Uzbekistan, dan Kamerun sejak 2022, dengan total korban mencapai lebih dari 140 anak.
Tragedi serupa pernah terjadi di India pada 2019, menewaskan 12 anak akibat kandungan racun yang sama. Sejak 2023, pemerintah India mewajibkan seluruh sirup yang diekspor menjalani uji laboratorium di fasilitas pemerintah, tetapi aturan ini belum diberlakukan untuk produk yang dijual di dalam negeri.
Sirup batuk umumnya dibuat menggunakan pelarut propylene glycol, yang tersedia dalam dua jenis yakni farmasi dan industri. Versi industri lebih murah, tetapi tidak layak konsumsi manusia karena sering mengandung zat berbahaya seperti diethylene glycol.
Reuters melaporkan dalam beberapa kasus sebelumnya, bahan versi industri ini diduga digunakan dalam produksi sirup batuk untuk menekan biaya. Kementerian Kesehatan India menegaskan manfaat obat batuk untuk anak sangat minim, sementara risikonya justru besar.
"Obat batuk memiliki manfaat yang sangat terbatas bagi anak-anak namun membawa risiko signifikan," ujar pernyataan resmi kementerian.
Jika terbukti bersalah, Sresan Pharma dan para pejabatnya dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup dan denda besar atas tuduhan pembunuhan tidak berencana, pemalsuan obat, serta pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat dan Kosmetika India.
Kasus ini pun menambah daftar panjang tragedi akibat sirup obat beracun di negara dengan industri farmasi terbesar di Asia Selatan tersebut, sekaligus menggugah kembali kekhawatiran global soal keamanan obat buatan India.
(miq/miq)