Kenali Job Hugging, Tren Terkini Kerja di Kalangan Gen Z & Milenial

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
Selasa, 16/09/2025 11:40 WIB
Foto: REUTERS/Annabelle Gordon

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah era great resignation pada 2021-2022 yang ditandai tren pekerja ramai-ramai pindah kerja (job hopping), kini muncul fenomena baru di pasar tenaga kerja, yaitu job hugging. Istilah ini merujuk pada kecenderungan pekerja bertahan erat di pekerjaan mereka saat ini, meski peluang baru terbuka.

Fenomena ini banyak dipicu ketidakpastian ekonomi global, politik, hingga perlambatan pasar tenaga kerja. Konsultan dari Korn Ferry menyebut job hugging sebagai sikap pekerja yang berpegangan pada pekerjaannya sekuat tenaga karena khawatir sulit mendapatkan pekerjaan baru.


Data Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan tingkat pengunduran diri sukarela (quits rate) sejak awal 2025 stabil di kisaran 2%. Angka ini merupakan level terendah sejak 2016, di luar masa awal pandemi Covid-19.

Survei ZipRecruiter juga mencatat, pekerja yang sama sekali tidak yakin akan ketersediaan lowongan kerja meningkat menjadi 38% pada kuartal-II (Q2) 2025. Angka ini naik dari 26% tiga tahun lalu.

"Pasar tenaga kerja saat ini stagnan, baik dari sisi perekrutan, PHK, maupun pengunduran diri," ujar Direktur Riset Ekonomi di Indeed Hiring Lab, Laura Ullrich dikutip CNBC International, Selasa (16/9/2025).

Konsultan eksekutif di Korn Ferry, Matt Bohn menilai tren ini wajar. Apalagi,

di tengah ketidakpastian global. "Seperti investor yang memilih menunggu di pinggir lapangan, pekerja pun lebih memilih bertahan daripada mengambil risiko pindah kerja," jelasnya.

Perlambatan ekonomi juga memperburuk situasi, di mana dengan suku bunga tinggi, perusahaan enggan berekspansi dan cenderung menahan perekrutan. Data terbaru menunjukkan rasio lowongan kerja terhadap pengangguran di AS turun dari 2:1 pada Maret 2022 menjadi sekitar 1:1 pada Juni 2025.

Meski terlihat aman, job hugging punya sisi negatif. Pekerja yang terlalu lama bertahan berpotensi kehilangan peluang kenaikan gaji karena sejarah menunjukkan pekerja yang pindah biasanya mendapat kenaikan upah lebih besar dibanding yang tetap di posisi lama.

Selain itu, terlalu nyaman bisa membuat pekerja stagnan dan kurang berkembang. Pada akhirnya, pekerja tidak kompetitif ketika pasar tenaga kerja kembali bergairah.

"Jika kinerja dinilai tidak lagi memenuhi standar, perusahaan bisa saja memutuskan hubungan kerja," kata Bohn.


(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Kosmetik Tumbuh Pesat, Uji Keamanan Produk Disorot