Salju Abadi di Jayawijaya Terancam Punah 2026, Begini Analisa BMKG
Jakarta, CNBC Indonesia - Keajaiban alam Indonesia berupa salju abadi di Puncak Cartenz, Pegunungan Jayawijaya, Papua Tengah, diprediksi akan lenyap pada 2026. Fenomena ini menegaskan dampak nyata perubahan iklim global yang semakin sulit dikendalikan.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan, tutupan es di puncak salah satu gunung tertinggi di Indonesia itu sudah semakin memprihatinkan. Ia bahkan sempat menyaksikan langsung kondisi lapangan pada 2023.
"Saat itu es masih meliputi lebih dari sepertiga puncak. Hari ini, berdasarkan berbagai monitor, es di puncak Cartenz hanya tersisa di relung-relung batu," kata Hanif dalam Forum Nasional Pekan Iklim Bali 2025, Denpasar, awal pekan ini.
Ketebalan Es Menyusut Drastis
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada akhir 2024 menunjukkan penurunan ketebalan es yang ekstrem dalam satu dekade terakhir.
- Tahun 2010: ketebalan es mencapai 32 meter.
- Periode Nov 2015 - Mei 2016: tinggal 5,6 meter.
- Tahun 2024: hanya tersisa 4 meter.
Selain itu, luasan es juga terus menyusut. Pada 2022, area gletser di Puncak Sudirman masih 0,23 km², sementara survei 2024 mencatat tinggal 0,11-0,16 km².
"Penurunan ini sangat signifikan dan sulit dipertahankan. Kami mendokumentasikan kepunahan es di Papua karena kita sudah masuk tahap di mana mempertahankannya hampir mustahil," jelas Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG, Donaldi Sukma Permana dikutip website resmi BMKG
BMKG menyebut penyebab utama pencairan salju abadi di Jayawijaya adalah laju perubahan iklim global yang makin tidak terkendali. Fenomena El Nino juga ikut mempercepat proses mencairnya gletser tropis tersebut.
Staf BMKG Najib Habibie menambahkan, hasil monitoring terbaru memperlihatkan stake pengukur ketebalan es yang ditanam sejak 2010 kini sudah terekspos seluruhnya ke permukaan. "Ini bukti pemanasan global sudah nyata, mengancam ikon berharga milik Indonesia," ujarnya.
Salju abadi di Puncak Jayawijaya merupakan fenomena unik karena berada di wilayah tropis. Selama puluhan tahun, keberadaannya menarik perhatian ilmuwan, peneliti, hingga pecinta alam. Kini, ancaman kepunahan es tersebut menjadi simbol komitmen global menekan emisi gas rumah kaca belum cukup berdampak.
"Alam tidak bisa dibohongi. Upaya kita menekan emisi masih jauh dari cukup. Hilangnya salju Cartenz menjadi simbol kegagalan kita menghadapi perubahan iklim," tegas Hanif.
(hsy/hsy)