Fenomena Sarang Kosong "Menyerang", Orang Tua Tak Siap-Terancam Cerai
Jakarta, CNBC Indonesia - Perpisahan anak dari orang tua yang meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja atau empty nesting, kini tidak lagi menjadi isu pribadi semata. Berdasarkan data dan penelitian, fase ini terbukti secara ilmiah dapat memicu tantangan emosional dan psikologis yang signifikan bagi orang tua.
Penulis buku The Empty Nest: How to Survive and Stay Close to Your Adult Child, Celia Dodd, menemukan bahwa transisi ini adalah penyesuaian diri yang sangat besar dan sering kali menjadi fase paling menantang dalam pengasuhan anak. Meskipun banyak orang tua merasa bangga dengan pencapaian anak-anak mereka, proses ini tidak jarang disertai perasaan kehilangan dan krisis identitas yang mendalam.
Ketika anak-anak meninggalkan rumah, orang tua sering kali menghadapi kekosongan yang nyata. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh para ibu, tetapi juga para ayah yang mungkin menyembunyikan emosi mereka.
Gordon Ramsay, koki selebriti, secara terbuka mengakui kesedihannya saat sang putra pergi kuliah hingga membuatnya masuk ke kamar putranya dan mengenakan celana dalamnya sebagai cara untuk merasakan kembali kehadirannya. Kejujuran Ramsay ini mematahkan mitos bahwa hanya ibu yang merasakan dampak emosional dari empty nesting.
Penulis Celia Dodd juga menguatkan hal ini. Ia menceritakan pengalamannya sendiri saat putra sulungnya pergi.
"Saya pikir suami saya itu benar-benar tidak berperasaan... Padahal, dia merasakan kesedihan yang sama seperti saya." kata Dodd, seraya menjelaskan bahwa para ayah sering merasa tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan perasaan mereka karena merasa harus menjadi penopang bagi pasangan dan anak-anak.
Mencari Makna dan Tujuan Baru
Setelah menghadapi rasa kehilangan, tantangan berikutnya adalah menemukan kembali makna diri dan tujuan hidup. Banyak orang tua merasa identitas mereka selama ini terikat erat dengan peran sebagai orang tua, dan kini mereka harus menemukan kembali jati diri mereka sebagai individu dan sebagai pasangan.
"Kembali ke kehidupan tanpa anak-tetapi tetap menjadi orang tua-membutuhkan penyesuaian besar lainnya terhadap diri dan posisi Anda di dunia," tutur Dodd. "Tiba-tiba Anda sendirian dan saling memandang, dan menyadari bahwa Anda tidak terlalu memperhatikan satu sama lain selama bertahun-tahun."
Mantan ibu negara, Michelle Obama, juga menceritakan bagaimana ia menjalani terapi untuk bertransisi ke fase baru dalam hidup setelah anak-anaknya 'diluncurkan'. Hal ini menunjukkan bahwa empty nesting bukanlah fenomena yang bisa diremehkan dan membutuhkan persiapan mental yang matang.
Banyak pasangan menyadari bahwa percakapan mereka selama bertahun-tahun didominasi oleh topik seputar anak-anak, dan kini mereka harus belajar untuk saling mengenal kembali. Kondisi ini sering kali menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian di kalangan empty nesters.
Namun, fase ini juga dapat menjadi peluang untuk menghidupkan kembali percikan dalam hubungan. Dengan perencanaan, seperti "kencan malam" yang disengaja dan mengeksplorasi hobi baru bersama, pasangan dapat menemukan kembali kedekatan dan kebersamaan.
Alih-alih menjadi akhir, empty nesting justru bisa menjadi awal dari babak baru. Setelah bertahun-tahun berfokus pada anak-anak, para orang tua kini memiliki kesempatan untuk mengejar impian dan hobi yang sempat tertunda.
"Tujuannya bukan mengisi kekosongan melainkan menemukan tujuan baru. Bagi saya, itu berarti menghabiskan waktu di taman dan berkebun, sementara bagi istrinya, itu berarti mendedikasikan waktu penuh untuk karier seninya," pungkas Dodd.
"Seperti terjemahan simbol China untuk krisis yang diyakini berarti bahaya dan peluang, empty nesting adalah fase yang menawarkan keduanya. Ini adalah waktu di mana tidak hanya anak-anak yang mendapatkan kemandirian, tetapi juga orang tua yang akan menemukannya kembali."
(tps/tps)