Ternyata Begini Asal Mula Babi Ditinggalkan di Tanah Arab

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
28 May 2025 09:45
Babi di kandang mereka di sebuah peternakan di pinggiran Chengdu di provinsi Sichuan barat daya China 02 Agustus 2005. China telah memerintahkan pemerintah daerah di seluruh negeri untuk memperketat pengawasan pasar babi dan peternakan babi untuk mencegah penyakit babi mematikan yang diidentifikasi sebagai bakteri streptococcus suis yang sejauh ini telah menewaskan 38 orang di provinsi itu agar tidak menyebar lebih jauh, kata media pemerintah. (File Foto - credit should read PETER PARKS/AFP via Getty Images)
Foto: (File Foto - AFP via Getty Images/PETER PARKS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi umat Islam, babi jelas termasuk hewan haram untuk dikonsumsi. Namun sejarah menunjukkan, ribuan tahun lalu, babi justru pernah jadi sumber makanan utama di kawasan Timur Tengah sebelum akhirnya ditinggalkan dan dilarang.

Penelitian tim dari Kiel University, Jerman, berjudul Insights Into Early Pig Domestication Provided by Ancient DNA Analysis (2017), menyebut proses domestikasi babi pertama kali terjadi di Mesopotamia sekitar 8.500 SM. Dari kawasan ini pula, babi kemudian menyebar ke Eropa.

Fakta ini menunjukkan babi dulunya bukan makhluk asing di wilayah Arab. Bukti arkeologis dari 5.000-2.000 SM memperlihatkan masyarakat Timur Tengah kala itu memelihara babi secara intensif sebagai sumber daging.

Namun, situasi berubah sekitar tahun 1.000 SM. Konsumsi babi anjlok drastis dan praktik peternakannya makin ditinggalkan. Apa yang menyebabkan perubahan drastis ini?

FILE PHOTO: Piglets drink milk from a sow at a pig farm in Yaji, Guangxi Zhuang Autonomous Region, China, March 21, 2018. REUTERS/Thomas Suen/File PhotoFoto: Peternakan babi. REUTERS/Thomas Suen/File Photo

1. Babi Tidak Ramah Ekosistem

Antropolog Marvin Harris dalam bukunya Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019) berpendapat, alasan pelarangan babi lebih berkaitan dengan faktor ekologi daripada semata-mata agama.

Menurut Harris, babi sangat boros air, seekor babi membutuhkan sekitar 6.000 liter air untuk tumbuh. Bila suatu peternakan memiliki 100 ekor babi, maka diperlukan 600.000 liter air. Di wilayah gurun seperti Timur Tengah, angka ini jelas tidak efisien.

Selain itu, babi juga bukan pemakan rumput seperti sapi atau kambing. Mereka membutuhkan makanan layak manusia seperti kacang-kacangan dan biji-bijian. Dalam kondisi keterbatasan sumber daya, manusia akan lebih memilih mengutamakan konsumsi sendiri daripada memberi makan hewan yang tidak ekonomis.

"Babi mungkin enak, tapi peliharaannya terlalu menyita sumber daya," tulis Harris.

2. Ayam Mengubah Segalanya

Sejarawan Richard W. Redding dalam risetnya The Pig and the Chicken in the Middle East (2015) punya pandangan berbeda. Menurutnya, munculnya ayam sebagai alternatif sumber protein menjadi faktor krusial di balik penurunan konsumsi babi.

Ayam lebih mudah dipelihara, lebih hemat air (hanya 3.500 liter per 1 kg daging), dan cocok untuk gaya hidup nomaden. Ayam juga tidak meninggalkan banyak sisa, mudah dikonsumsi sekali habis, dan menghasilkan telur sebagai produk tambahan.

Bagi masyarakat Arab yang sering berpindah tempat dan hidup di lingkungan tandus, ayam menjadi solusi ideal. Dalam jangka panjang, kehadiran ayam secara perlahan menggantikan posisi babi di meja makan.

"Dalam kondisi seperti itu, ayam menjadi sumber protein utama, dan babi tak lagi dibutuhkan," tulis Redding.

Seiring waktu, praktik memelihara dan mengonsumsi babi di Timur Tengah terus menyusut. Meski awalnya bukan karena alasan spiritual, faktor ekologis dan perubahan pola hidup berperan besar dalam menggeser peran babi.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 9 Produk Makanan Mengandung Babi, Ada yang Bersertifikat Halal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular