WHO Larang Pakai Asbes untuk Atap Rumah, Dampaknya Ngeri

Linda Hasibuan, CNBC Indonesia
07 May 2025 09:50
Logo WHO (Dok. WHO)
Foto: Logo WHO (Dok. WHO)

Catatan: Artikel ini telah mengalami pembaruan dengan menambahkan hak jawab dari asosiasi pengusaha.

Jakarta, CNBC Indonesia - Penggunaan atap asbes pada bangunan rumah masih banyak dipilih banyak orang di Indonesia. Hal ini karena material asbes terbilang murah dan mudah dipasang.

Namun siapa sangka, atap asbes ternyata dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Bahkan penggunaan asbes sebagai atap bangunan, terutama rumah sudah dilarang oleh Badan Kesehatan Dunia atau WHO.

Mengutip detikcom (7/5), material pada asbes dapat melepaskan serat beracun ke udara. Apabila terhirup, serat tersebut dapat menempel di paru-paru. Serat ini sulit dicegah agar tidak masuk ke paru-paru karena ukurannya sangat kecil. Menurut Dinkes DKI Jakarta ukuran serat tersebut hanya berdiameter kurang dari 3 mikrometer atau lebih tipis dari 1/700 helai rambut.

Orang yang telah menghirup serat asbes biasanya tidak menyadarinya karena gejalanya akan muncul setelah 40-60 tahun setelah terhirup pertama kali. Serat ini bisa bertahan lebih lama dari itu.

Penyakit yang disebabkan oleh serat asbes disebut dengan asbestosis. Penyakit ini menyerang paru-dengan menimbulkan jaringan parut pada paru-paru yang dapat membatasi pernapasan dan mengganggu kemampuan oksigen untuk memasuki aliran darah. Nama lain dari penyakit ini adalah fibrosis paru dan pneumonitis interstisial.

Selain itu, serat asbes juga bisa menimbulkan kanker paru-paru agresif atau mesothelioma. Penyakit ini termasuk salah satu kanker yang dapat menyerang membran pelindung sekitar paru-paru, jantung, dan perut dan menyebabkan tumor ganas. Kanker ini termasuk jenis penyakit yang langka ditemukan.

Lantas, apakah penyakit-penyakit yang disebabkan serat asbes bisa disembuhkan?

Penyakit asbestosis tidak dapat disembuhkan. Penderita hanya dapat melakukan perawatan untuk mengurangi gejalanya dan itu harus sesuai dengan arahan dokter. Lalu, mengubah gaya hidup juga penting seperti berhenti merokok.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melarang pemakaian asbes karena sifatnya yang karsinogen atau dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan data yang dihimpun WHO pad 2016 lalu, terdapat 200 ribu kasus kematian karena serat asbes. Jumlah tersebut setara dengan 70 persen kasus kematian yang disebabkan oleh kanker yang timbul di tempat kerja.

Sebagai langkah pencegahan, WHO telah menerima laporan dari 50 negara yang telah menetapkan pelarangan penggunaan asbes. Apakah Indonesia sudah memiliki aturan untuk membatasi penggunaan asbes pada bangunan atau di dekat manusia?

Melihat catatan detikcom Dinkes DKI Jakarta sempat melakukan sosialisasi terkait hal ini melalui media sosialnya. Dalam unggahannya tersebut, disebutkan bahwa asbes merupakan bahan beracun berbahaya (B3). Hal ini sebagaimana dikategorikan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999.

Penggunaan material ini pun sudah ada aturan yang membatasi penggunaannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan, syarat penggunaan material asbes yang diperbolehkan maksimal hanya 5 serat/ml.

Tanggapan pengusaha
Asosiasi pengusaha yang tergabung dalam Fiber Cement Manufacturers Association (FICMA) menilai larangan penggunaan abses tak bisa dipukul rata. Sebab, mereka mengatakan, tidak semua jenis asbes berbahaya. 
Ada dua kelompok utama asbes, yakni amphibole (seperti crocidolite, amosite) yang terbukti berbahaya, dan seprentine (chrysotile/asbes putih/krisotil) yang aman bagi manusia. 
Chrysotile sendiri memiliki karakter yang lebih rapuh dan mudah terurai. dan dapat dikeluarkan dari paru-paru. 
Menurut Asosiasi, hingga saat ini penggunaan asbes jenis chrysotile tidak dimasukkan dalam daftar berbahaya oleh Rotterdam Convention. 
Perlu diketahui, Rotterdam Convention atau Konvensi Rotterdam adalah perjanjian internasional yang mengatur perdagangan bahan kimia dan pestisida berbahaya. Tujuannya adalah untuk mendorong tanggung jawab bersama dalam perdagangan bahan kimia berbahaya, serta memberikan informasi dan persetujuan awal kepada negara-negara importir sebelum mereka menerima bahan kimia tersebut.
"Industri anggota FICMA menjalankan standar keselamatan kerja yang ketat, termasuk pengendalian debu, ventilasi industri, dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Produk akhir berbasis chrysotile (misalnya atap gelombang, kampas rem, gasket) tidak melepaskan serat berbahaya," kata FICMA.

(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Indonesia Jadi Juru Kunci Penanganan Pandemi Global WHO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular