Heboh Bakteri Pemakan Daging di Jepang, Kemenkes RI Buka Suara

Rindi Salsabilla, CNBC Indonesia
Jumat, 28/06/2024 10:35 WIB
Foto: Orang-orang berjalan melintasi penyeberangan pejalan kaki di distrik Shibuya, Tokyo. (AP/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang tengah dilanda wabah Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) yang identik dengan bakteri pemakan daging manusia.  Berdasarkan data terbaru, total jumlah kasus dari penyakit ini telah mencapai hampir 1.000 orang.

Terkait wabah yang tengah menggemparkan Negeri Sakura tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menegaskan bahwa penyakit yang mewabah di Jepang belum terdeteksi di Indonesia.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa Kemenkes RI akan memberi perhatian terhadap STSS melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI), Severe Acute Respiratory Infection (SARI), dan pemeriksaan genomik.


"Kalau sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan, ya, untuk kasus bakteri 'pemakan daging'," ungkap dr. Nadia melalui keterangan resmi tertulis, dikutip Jumat (28/6/2024).

dr. Nadia menjelaskan bahwa tingkat penyebaran penyakit yang mampu menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat ini memiliki tingkat penyebaran yang jauh lebih rendah daripada Covid-19. Namun, ia meminta masyarakat untuk melakukan sejumlah langkah pencegahan.

"Hal yang paling penting saat ini adalah kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan, seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan" kata dr. Nadia.

Hingga kini, Pemerintah Indonesia tidak melakukan pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang untuk menghindari penyebaran kasus STSS di Tanah Air.

Melansir dari laman resmi University of Nebraska Medical Center mengutip laporan National Institute of Infectious Diseases (NIID), total jumlah kasus STSS di Jepang hingga Juni 2024 telah mencapai 1.019 kasus. Angka tersebut diklaim melampaui jumlah total kasus pada 2023 lalu.

Sementara itu menurut Institut Penyakit Menular Nasional Jepang mengungkapkan bahwa hingga Maret 2024, sebanyak 77 orang meninggal dunia akibat STSS dengan mayoritas kasus terjadi pada orang berusia di atas 50 tahun.

Sebenarnya, apa itu STSS?

STSS adalah jenis infeksi bakteri langka yang serius dan dapat berkembang ketika bakteri menyebar ke jaringan dalam dan aliran darah. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), STSS dapat mematikan dengan tiga dari 10 pengidap meninggal dunia.

"Bahkan dengan pengobatan pun STSS bisa mematikan. Dari 10 orang yang mengidap STSS, sebanyak tiga di antaranya akan meninggal akibat infeksi tersebut," jelas CDC.

Sebagian besar kasus STSS disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A (GAS) yang menyebabkan demam dan infeksi tenggorokan pada anak-anak. Dalam beberapa kasus, strep A dapat menjadi invasif ketika bakteri menghasilkan racun yang memungkinkan masuk ke aliran darah sehingga menyebabkan penyakit serius, seperti syok toksik.

Menurut CDC, strep A juga dapat menyebabkan fasciitis nekrotikans "pemakan daging" yang dapat menyebabkan hilangnya anggota tubuh. Namun, sebagian besar pasien yang tertular penyakit tersebut memiliki faktor kesehatan lain yang dapat menurunkan kemampuan tubuh mereka untuk melawan infeksi, seperti kanker atau diabetes.

Kemenkes RI mengungkapkan bahwa penularan STSS dapat terjadi melalui pernapasan dan droplet alias percikan air ludah atau lendir dari penderita ke orang lain.

Infeksi radang grup A yang invasif sebagian besar dapat diatasi dengan pengendalian Covid-19, seperti penggunaan masker dan pembatasan sosial. Namun, setelah tindakan tersebut dilonggarkan, banyak negara, termasuk di Eropa yang kembali melaporkan peningkatan kasus.

CDC mengatakan, orang lanjut usia dengan luka terbuka lebih berisiko tinggi tertular STSS, termasuk pasien yang baru saja menjalani operasi.

"Namun, para ahli tidak mengetahui bagaimana bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh hampir separuh orang yang menderita STSS," ujar CDC.

Sebagian besar pasien STSS dilaporkan mengalami gejala awal demam, nyeri otot, dan muntah-muntah. Namun, gejalanya dapat dengan cepat mengancam nyawa dengan nyeri dan bengkak anggota tubuh, tekanan darah rendah, masalah penapasan, dan kegagalan banyak organ saat tubuh mengalami syok.


(rns/rns)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kisah Marshel Widianto, Dulu Susah Kini Hidup Ala Rich People